HeadlineKanan-SliderSlider

Suara Sosial Nabi Muhammad SAW

Enta Malasinta L

Muhammad lahir dan tumbuh dalam situai sosial yang buruk di Mekah, di mana terjadi ketimpangan sosial antara kelompok yang kaya sebagai pemilik modal besar dalam usaha perdagangan, yang menguasai hampir seluruh bidang usaha, dengan kelompok miskin yang terdiri dari para pengrajin kecil, buruh-buruh dagang dan para budak. Keadaan ini menimbulkan ketegangan sosial yang berkembang dan meluas di kalangan masyarakat Mekah, di mana yang kaya menindas yang miskin.

Dalam perkembangan selanjutnya, tidak ada penyelesaian terhadap masalah kesenjangan sosial ini, karena kelompok kaya memiliki kuasa untuk terus mempertahankan status quo, sehingga semakin hari mereka semakin kaya. Sementara itu yang miskin tidak mempunyai kemampuan untuk keluar dari penderitaannya sehingga semakin hari mereka semakin terpuruk dalam kemiskinannya tanpa bisa berbuat apapun. Seorang yang jujur dan memiliki sensitivitas sosial yang tinggi, yang digelari sebagai al-Amin seperti Muhammad, sangat terganggu dan gelisah melihat situasi di atas. Dengan hati yang bijaksana, Muhammad mencari jalan keluar yang baik dalam sebuah kontemplasi panjang, yang kemudian membawanya pada pengalaman perjumpaan dengan Allah, yang prihatin terhadap keadaan umat-Nya di Mekah. Melalui perjumpaan itu ia dituntun melalui Wahyu Allah untuk berjuang membebaskan masyarakat miskin Mekah yang tertindas, sekaligus membebaskan masyarakat kaya Mekah dari keserakahannya yang menindas.

     Tindakan pembebasan Muhammad, adalah pembebasan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan mereka hak untuk merdeka dalam berpikir dan bertindak. Seruan-seruannya mampu membangkitkan semangat berjuang pada orang-orang yang tertindas untuk bangkit melawan ketidakadilan. Dalam hal ini Muhammad bukan hanya sekedar menyerukan, namun ia terjun langsung dalam lapangan hidup untuk berjuang bersama-sama orang tertindas untuk ke luar dari ketertindasannya, ia menjadi juru bicara kelompok miskin untuk melawan sistem stratifikasi sosial. Di bawah pimpinannya, masyarakat miskin Mekah bukan hanya mampu membebaskan diri mereka sendiri, tetapi juga berperan aktif untuk membebaskan seluruh masyarakat Mekah dari segala kekeliruan hidup mereka. Keberhasilan Muhammad dalam memimpin dan memperjuangkan keadilan dan persamaan hak inilah yang membuat ia kemudian disebut sebagai pelopor pembebasan di Mekah.[1]

     Dalam perjuangannya, Muhammad melalui ajaran Al-Qur’an menekankan keadilan distributif, yaitu pemerataan kekayaan bagi seluruh masyarakat. Keadilan ini merupakan salah satu bentuk kecaman terhadap sistem penumpukan kekakayaan pada sebagian orang yang selama ini terjadi pada kelompok orang kaya di Mekah. Salah satu bentuk pemerataan kekayaan itu adalah dengan cara mendermakan sebagian harta orang-orang kaya kepada mereka yang membutuhkan pertolongan yaitu para janda, anak yatim dan orang miskin. Perbuatan inilah yang kemudian diistilahkan Muhammad sebagai tindakkan membelanjakan harta di jalan Allah.

     Salah satu bentuk perjuangan pembebasan Muhammad adalah pemberantasan praktik riba yang merajalela di Mekah, yang membuat banyak masyarakat miskin terjebak dalam hutang piutang yang besar. Menurut Muhammad praktek riba itu adalah bentuk dari pengambilan keuntungan yang terlalu berlebihan dan tidak benar. Masalah praktik riba ini, banyak para intelektual berpendapat bahwa:

          “ Secara umum riba merupakan eksploitasi, mendapatkan keuntungan dengan cara yang eksploitatif “[2]

Muhammad juga menentang praktik dalam bentuk spekulasi perdagangan, sebab tindakan itu adalah bentuk penipuan yang sangat menguntungkan pemilik modal dan merugikan rakyat miskin. Misalnya saja seorang saudagar yang membeli gandum pada petani dengan harga murah pada saat gandum itu belum berbuah matang. Pada saat gandum telah matang keuntungannya akan berlipat ganda, dan keuntungan itu adalah milik si saudagar kaya, sementara itu si petani tidak memperoleh keuntungan apapun. Ini adalah salah satu bentuk praktik eksploitasi terhadap kaum miskin.

     Salah satu perjuangan Muhammad yang paling berani adalah melarang tegas adanya praktik zulm (ketidakadilan), dalam hal ini seruannya kepada orang miskin khususnya orang yang kelaparan agar berani merampas paksa makanan dari orang kaya jika mereka tidak mau berbagi dengan kaum miskin, juga ia memperbolehkan orang yang tertindas untuk melawan para penindasnya walaupun nyawa adalah taruhannya dalam berjuang sampai mati. Muhammad juga memperkenalkan kepada kaum miskin tentang Allah sebagai Tuhan yang perduli terhadap penderitaan orang miskin dan Allah berada dipihak mereka untuk membebaskan mereka dari ketertindasannya. Dengan demikian jelas, bahwa berjuang untuk mengakhiri penganiayaan dan melindungi orang-orang lemah dari penindasaan orang-orang kuat diijinkan oleh Allah. Muhammad berani bertindak demikian, didasarkan pada penerimaan Wahyu dari Allah yang mengatakan:

          “ Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata: Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dan pertolongan dari-Mu!” (4:75).                                                       

            “Orang yang menbela golongan lemah adalah pembantu dan kekasih Allah …..juga menjanjikan kepada mereka yang tertindas untuk menjadi pemimpin dan pewaris dunia.” (Q.S. 28:5)[3]     

     Dari kenyataan ini, dapat dilihat bahwa ayat-ayat dari Wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad (Al-Qur’an) dapat dikatakan sebagai sebuah ‘Piagam Pembebasan’ bagi kaum tertindas, di mana di dalamnya dideklarasikan kepentingan golongan lemah dan tertindas. Hal ini menunjukan bahwa Allah berpihak pada posisi orang-orang lemah. Istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menyebut mereka adalah mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang yang sombong).[4] Dari sini jelas, bahwa ketika orang kaya tidak lagi memperdulikan orang miskin, maka seluruh struktur sosial menjadi kacau dan berujung pada kehancuran moral. Maka Allah mengutus Muhammad untuk memperbaiki umat-Nya. Karena itulah Muhammad dapat disebut sebagai utusan Allah untuk membebaskan kaum tertindas, yang bermuara pada pencapaian masyarakat yang tak berkelas, adil dan merdeka.


[1]Asghar Ali Engineer,  Islam dan Teologi Pembebasan,  (Yogyakarta: LkiS, 1993), 45.

[2]Ibid., 53.

[3]Ibid., 54.

[4]Ibid., 13.

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.