Berita NasionalHeadlineKanan-Slider

Sitou Timou Tumou Tou

Oleh: Gabriella Tara Yohanessa

Di bandara Sam Ratulangi (Manado), terpampang sebuah tulisan dengan ukuran cukup besar yang berbunyi: Sitou Timou Tumou Tou (dicetuskan oleh Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi). Makna tulisan ini begitu dalam, bahkan menjadi filosofi hidup masyarakat Minahasa sejak lama. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut punya makna ‘manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain.’[1] Istilah memanusiakan manusia menjadi sebuah nilai esensial, bukan hanya di lingkup masyarakat Minahasa secara spesifik, tapi juga di tengah masyarakat Indonesia yang dikenal kaya dengan keragaman dan tradisi. Istilah ini sekaligus merupakan katalisator yang mendorong masyarakat untuk mau menghargai sesama manusia dan merajut keberagaman dalam bingkai kemerdekaan untuk menjadi kesatuan yang indah tanpa gangguan perpecahan.

79 tahun yang lalu, dengan memanfaatkan momen kekalahan Jepang, Indonesia bergerak cepat melepas kuk penjajahan untuk meraih kemerdekaan. Dalam prosesnya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terjadi dengan mudah, tapi diraih lewat proses panjang yang menguras darah, pikiran, dan tenaga. Kemerdekaan tersebut pada saat yang sama juga menandakan bahwa para pejuang bangsa yang datang dari latar belakang berlainan mampu meredam gejolak perbedaan demi tujuan selaras, yaitu mengantar negeri tercinta untuk bebas dan lepas dari rupa penindasan bangsa asing yang memicu banyak ketegangan dan ketidak setaraan dalam hidup masyarakat.

Sejatinya, kemerdekaan dalam perspektif iman Kristen dapat dipandang dengan cara yang kurang lebih sama. Kemerdekaan oleh Kristus membuat kita lepas dari belenggu dosa yang menekan hebat, dan kini menjadi milik kepunyaan-Nya, tapi di sisi lain, kita memiliki tanggung jawab untuk hidup dalam tuntunan firman (Yoh. 8:31). Kemerdekaan yang dianugerahkan Kristus tidak boleh diartikan keliru dengan mengira bahwa kita bebas berbuat apa pun sesuka hati hanya karena sudah menerima penebusan sejati. Sebaliknya, Dia mengatur supaya kita menjalani hidup dengan batasan jelas dalam terang kebenaran, karena kebenaran itulah yang memerdekakan (Yoh. 8:32). Jadi, kemerdekaan dalam Kristus perlu dibarengi dengan semangat untuk melangkah dalam kebenaran (bukan dosa!). Salah satu bukti mendasar bahwa kita menjadi bagian dari milik Kristus adalah kemampuan mengasihi sesama manusia (dan tentu, sesama ciptaan yang lain), terlepas dari latar belakang yang tidak sama: bahasa, usia, jenis kelamin, suku, agama, dan sebagainya. Kasih mampu merangkum berbagai perbedaan, dan menerjang segala batasan (Kol. 3:14).

Kembali pada filosofi sitou timou tumou tou yang mengarah pada tindakan kasih akan sesama. Semangat memanusiakan manusia membuat kita terhubung dalam ikatan yang positif sekaligus konstruktif. Kebebasan sebagai buah dari kemerdekaan patutlah dinikmati dengan sukacita dalam semangat persatuan, sehingga keragaman di Indonesia tidak menjadi senjata penghancur kebersamaan, melainkan sarana menumbuhkan rasa peka, peduli serta penghargaan satu dengan yang lain. Mestinya, tidak ada lagi kebencian antar golongan berbeda atau penyalahgunaan kekuasaan untuk menindas yang lemah. Maka, layaknya Kristus yang begitu kasih pada kita, demikian bagi kita digaungkan semangat yang sama, yaitu menyemai kasih pada sesama dalam solidaritas selaku orang percaya dan bagian dari masyarakat Indonesia. Selamat mengingatrayakan kemerdekaan Indonesia dan selamat mengasihi!


[1] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-suluttenggomalut/baca-kilas-peristiwa/13962/Sitou-Timou-Tumou-Tou-Filosofi-Sam-Ratulangi-yang-Diterapkan-Kanwil-DJKN-Suluttenggomalut.html (diakses tanggal 8 Agustus 2024)

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.