HeadlineKanan-SliderSlider

Monotheis dan Pancasila

Oleh: Enta Malasinta L

           Setiap agama memiliki pengajaran tentang ketuhanan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Ajaran tentang ketuhanan ini memiliki ciri khas masing-masing, sehingga setiap agama menjadi unik. Agama Kristen dan Islam dikenal sebagai agama monotheistik, artinya percaya kepada satu yang disembah sebagai Tuhan dan bersamaan dengan itu realitas sembahan-sembahan yang lain tidak diakui. Kemonotheistikan dari kedua agama ini dapat dipahami melalui kredonya: Kristen dengan kredonya “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4); yang dituangkan ke dalam Pengakuan Iman Nicea dan Pengakuan Iman Rasuli; Islam, dengan syahadahnya laa ilaaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah).                                                                                                                                          

Dalam kaitan dengan pernyataan ini, agama mempunyai tanggung jawab untuk mengomunikasikan realitas perbedaan teologi agama-agama khususnya tentang monotheisme. Agama Islam dan Kristen sama-sama menganut monotheisme, kendatipun penjelasan tentang ajaran ini saling berbeda. Realitas perbedaan ini menuntut kearifan semua umat beragama untuk tidak mengambil sikap eksklusif dan superioritas, melainkan bersikap saling menghormati, pluralis, dan dialogis, demi keadilan dan perdamian. Dalam posisi ini, beberapa pertimbangan perlu diambil untuk mempersiapkan pendidikan Kristiani tentang monotheisme dalam konteks masyarakat majemuk. Tujuannya sebagai bukti dan dasar kebenaran membangun sikap pluralis dalam diri umat.

           Pertama, dasar teologis Alkitab. Dalam Mazmur 24:1 yang berkata, “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya”, sesungguhnya hendak merefleksikan penciptaan semesta alam. Nas ini bukan bercerita tentang penciptaan gereja, atau agama Kristen, bahkan bukan pula penciptaan Israel. Pemazmur mengungkapkan bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu di seluruh dunia. Tidak ada hidup, pengalaman ibadah, pembebasan dan keselamatan di luar jangkauan Kasih-Nya (Ariarajah 2003, 2). Dalam Yesaya 45:5a ditulis “Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah.” Jelas seruan ini bertujuan mengingatkan manusia untuk kembali mempercayai dan beriman hanya kepada Allah yang Esa. Seruan ini sekaligus mengundang manusia untuk melakukan pembaharuan budi sebagi wujud ketundukan hanya kepada Allah yang Esa. Ariarajah menunjuk Amos 1-2 dan 9:7 serta Yesaya 19:19-25 sebagai suara kenabian yang menyerukan bahwa Allah sebagai Tuhan segala bangsa (Ariarajah 2003, 10-12). Lukas 13:29 menyediakan sikap inklusif terhadap pluralisme agama terkait soal Kerajaan Allah (Antone 2003, 54). Lukas hendak menegaskan bahwa akan datang orang-orang dari berbagai penjuru dunia yang merespons undangan Tuhan dalam Kerajaan Allah. Dalam konteks pluralisme agama, siapa saja berhak hadir dalam panggilan atau undangan Tuhan untuk bersukacita dalam jamuan makan di dalam Kerajaan Allah, sejuh mereka sungguh-sungguh merespons panggilan Tuhan, untuk menghadirkan harmoni dan keadilaan di dalam kehidupan ini.                                              

            Kedua, dasar sosiologis berupa kearifan budaya. Menurut analisis Antone tentang komunitas meja makan, pembelajaran yang dapat ditarik adalah nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, keterbukaan, keramahan, kesediaan berbagi, persahabatan dan kekeluargaan (Antone 2003, 75-77). Sementara itu dalam rumah besar (betang), di mana dalam hidup bersama beberapa keluarga, orang-orang Dayak menjalani kehidupan yang harmonis dan berkeadilan serta saling berbagi satu dengan yang lain. Mereka hidup bersama secara demokratis karena semua memiliki hak dan kedudukan yang sama. Persoalan privasi kerumahtanggaan masing-masing tetap dihormati. Djuweng mengatakan: 

Rumah panjang, terlepas dari bentuk dan panjangnya, tetapi memiliki bagian yang tertutup dan bagian yang terbuka. Ini mencerminkan keseimbangan antara nilai individu (privasi) dan kolektif yang dianut oleh orang Dayak. Bagian yang tertutup adalah nilai sebuah keluarga, sedangkan bagian terbuka yang disebut Soa atau Soah. Di sini setiap warga boleh duduk dan tidur-tiduran, dan ngobrol santai. Tetapi ketika masuk bagian bilik, seseorang yang bukan anggota keluarga bersangkutan tidak bebas lagi (Djuweng 1995, 73).

Dalam kehidupan di rumah betang mereka mengenal sistem pumpung, yaitu semua penghuni rumah betang berkumpul bersama untuk sebuah keputusan bersama dan handep, yaitu praktik gotong-royong dan tolong–menolong untuk menyelesaikan satu pekerjaan.

Lebih lengkap F. Ukur mengidentifikasi rumah betang tidak hanya sebagai tempat tinggal saja, tetapi memiliki beberapa fungsi, yaitu: Pertama, tempat perlindungan dari segala macam bahaya, baik binatang buas maupun musuh-musuh lainnya. Kedua, pusat seluruh kehidupan suku, karena di situlah semua upacara, baik yang menyangkut kehidupan fisik maupun rohani diselenggarakan, dari situ berangkat mencari nafkah dan ke situ mereka kembali membawa rejeki. Ketiga, lambang kehidupan komunal yang harmonis; di rumah panjang tidak ada yang berkelebihan dan yang berkekurangan, keseluruhan penghuni bertanggung jawab memelihara kesejahteraan bersama. Empat, pusat pendidikan dan pembinaan kaum muda. Dalam bahasa Ma’anyan balai ini disebut balai mantawara, jari mantaajar, yang artinya balai pendidikan, tempat pengajaran. Dalam penguraiannya dikatakan: jika gadis-gadis belum bisa menganyam, para jejaka belum bisa membuat tali dan menempa tombak, naiklah ke balai pendidikan dan ruang pengajaran, supaya si cantik manis pandai menganyam, si pria gagah mampu membuat tombak (Ukur 1992, 33). Dengan demikian semakin jelas bahwa rumah betang sarat dengan semangat kebersamaan dan demokratis.                                                                                                                                                                                                                                                       

Memperjumpakan semua pemahaman di atas, diperlukan sebuah wadah yaitu dialog. Dialog adalah cara yang paling manusiawi untuk menjawab berbagai persoalan dan perbedaan dalam masyarakat. Dialog itu tidak menghilangkan perbedaan, tetapi mengajarkan dan menyadarkan kita akan adanya realitas perbedaan. Dengan dialog kita belajar dan mengerti bahwa ada perbedaan, belajar untuk memahami dan mengerti tradisi keagamaan yang saling berbeda, termasuk ajaran tentang monotheisme, belajar menghormati adanya perbedaan, belajar hidup dalam perbedaan, dan akhirnya belajar untuk membangun hidup kebersamaan yang harmonis dalam perbedaan itu, inilah salah satu jiwa dari Pancasila.

Daftar Acuan

Antone, Hope S. 2003. Religious Education in Context of Plurality and Pluralism. Quezon City: New Day Publisher.

Ariarajah, S. Wesley. 2003. Alkitab dan Orang-orang yang Berkepercayaan Lain. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Djuweng, Stephanus. 1995. Realitas Sosial Budaya Bangsa Pribumi dan Masyarakat Dayak: Pengalaman dan Perspektif Suku Bangsa Dayak. Dalam Kurban yang Berbau Harum:   65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur. Peny. Darius Dubut, 73-90. Jakarta: Balitbang PGI.

Ukur, F. 1992. Kebudayaan Dayak: Suatu Tinjauan Umum Tentang Ciri-Ciri Pokok Kebuadayaan Suku Asli Kalimantan. Dalam Perekonomian Rakyat Kalimantan, peny. Mubyarto, 26-38. Yogyakarta: Aditiya Media.

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.