HeadlineKanan-SliderSlider

Refleksi Atas Sejarah Pelaksanaan Pendidikan Teologi di GKE

Oleh Lia Afriliani

Fridolin Ukur dalam bukunya Tuaiannya Sungguh Banyak mencatat sejarah pendidikan teologi di GKE. Berdasarkan catatan Fridolin Ukur, ada beberapa cara dalam pelaksanaan pendidikan teologi yang telah dilakukan di GKE, yakni melalui kursus teologi, sekolah Alkitab, dan sekolah teologi. Pada bagian akhir, penulis mengajak pembaca untuk merefleksikan kisah sejarah ini dengan keberadaan salah satu lembaga pendidikan teologi milik GKE, yakni STT GKE di masa kini.

Pertama, penyelenggaraan kursus-kursus teologi yang muncul karena adanya kebutuhan untuk pelatihan atau pembinaan bagi para pengerja Gereja (pemberita dan pendeta). Akhirnya pada tahun 1948 menjadi awal dimana diadakanlah Kursus Pengerja bagi para pendeta. Setelah itu, kursus teologi semakin gencar dilakukan dan bervariatif pesertanya, misalnya kursus di Mandomai untuk para pemberita yang akan diangkat menjadi pendeta, kursus berkeliling oleh Ds. Haffner dan istrinya di Aruk, Kuala Kurun, Buntok, dan tempat lainnya bagi para penatua dan pemberita, Selain itu ada bentuk lainnya seperti konferensi para pendeta (21-28 November 1954), konferensi untuk Guru Sekolah Minggu (9-11 April 1957), studie-konferensi bagi pengerja Gereja (23-03 Nopember 1957). Adapun yang menjadi pembicara dalam kursus-kursus tersebut adalah para pengajar di sekolah teologi. (Ukur, 2002, pp. 84–86)

Kedua, penyelenggaraan pendidikan teologi melalui sekolah Alkitab. Pada tahun 1958 di Mandomai dibukalah Sekolah Alkitab yang dipimpin oleh Ds. Markus Birim dan Ds. A. Raiser beserta istri. Sekolah Alkitab ini diadakan sebagai sebuah sekolah pemberita yang lama pendidikannya adalah empat tahun dengan syarat sekurang-kurangnya tamatan Sekolah Rakyat. Keberadaan Sekolah Alkitab ini adalah karena kesadaran bersama bahwa Gereja memerlukan badan khusus untuk mendidik para pemberita disamping adanya sekolah teologi.(Ukur, 2002, pp. 86–87)

Ketiga, sekolah teologi yang diawali dengan sekolah pendeta pada tahun 1932. Sekolah ini mendidik lima orang pendeta pertama GKE. Dalam sejarahnya, Sekolah Pendeta ini sempat terhenti dan dibuka kembali pada tahun 1948 dengan nama Sekolah Thoelogia. Pada tanggal 03 Februari 1963, status Sekolah Theologia ditingkatkan menjadi Akademi Theologia GKE. Dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan pendidikan di Indonesia, maka terjadi perubahan menjadi Akademi Filsafat Teologi pada tahun 1981. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1 Juni 1987 terjadi peningkatan dari Akademi Filsafat Teologi menjadi Sekolah Tinggi Teologi GKE (STT GKE). Di samping Program Sarjana Program Studi Teologi yang dibuka sejak 2003, STT GKE juga telah membuka Program Pascasarjana Program Studi Teologi sejak tahun 2006.(Sejarah STT GKE, n.d.) Hal ini dikarenakan tuntutan dari jemaat agar lulusan STT GKE memiliki kualitas yang lebih baik, berdaya saing, dan juga demi pengembangan STT GKE itu sendiri.

Sejak berdirinya Gereja sampai pecahnya Perang Dunia kedua, pendidikan teologi dilaksanakan dan diasuh oleh pihak Zending Basel. Sesudah perang hingga tahun 1956, diselenggarakan oleh Majelis Sinode. Selanjutnya hingga kini, pendidikan teologi dilakukan oleh suatu Yayasan yakni Dewan Pengasuh Pendidikan Teologi GKE, yang kini bernama Yayasan Pendidikan Teologi GKE Barnstain (Ukur, 2002, pp. 83–84).

Berdasarkan catatan sejarah di atas, maka terdapat beberapa refleksi bagi penyelenggaraan pendidikan teologi di GKE pada masa kini. Pertama, sejarah membuktikan bahwa GKE membutuhkan Sekolah Teologi. Pada masa kini, GKE telah memiliki dua lembaga pendidikan teologi, yakni STT GKE di Banjarmasin dan STAK-AW di Pontianak. Kedua lembaga pendidikan teologi ini harus diberikan perhatian dan dukungan serius oleh GKE, baik dari tingkat sinode, resort, hingga jemaat. Kualitas lembaga pendidikan teologi GKE merupakan masa depan bagi pengajaran teologi di jemaat-jemaat.

Kedua, berdasarkan sejarah, sekolah teologi memiliki peranan penting dalam memberikan pengajaran teologi bagi para pendeta, pambarita, guru Sekolah Minggu, dan sebagainya. Artinya pengajaran teologi bukan hanya diberikan di ruang kelas kepada para mahasiswa. Pada masa kini, hal ini tentunya juga menjadi sebuah kebutuhan. Berdasarkan hasil pengamatan penulis dalam pelaksanaan KTWG dalam rangka kunjungan Hari Pendidikan Teologi (HPT) tahun 2023 di beberapa resort yang ada di GKE, terdapat antusias luar biasa dari penatua, diakon, dan warga jemaat terhadap pengajaran-pengajaran teologi. Ini menjadi ruang kosong yang harus diisi oleh STT GKE, bekerja sama dengan para pendeta, Komisi Teologi GKE, Majelis Sinode, Majelis Resort, dan pihak terkait lainnya. Jemaat membutuhkan pengajaran teologi yang benar di tengah berbagai perdebatan-perdebatan doktrin yang viral saat ini. STT GKE sebagai salah satu sumber teologi, perumus dogma, dan penyedia SDM pengajar teologi di jemaat harus terlibat untuk mengisi kekosongan ini.

Ketiga, peningkatan kualitas STT GKE sehingga lulusan juga semakin berkualitas. Beberapa Ketua Resort yang dikunjungi pada saat HPT GKE tahun 2023 ini menyampaikan apresiasi terhadap kualitas pengajaran di STT GKE. Hal ini ditandai dengan beberapa pendeta dan vikaris yang dinilainya sangat bagus dalam pelayanan di resort tersebut. Bahkan mahasiswa PPG dari STT GKE juga selalu dinantikan karena dianggap sangat membantu dalam pelayanan di resort setempat. Ini sangat menggembirakan, walaupun harus berbesar hati juga untuk mengakui bahwa di samping yang baik, ada juga lulusan STT GKE yang kurang maksimal dalam melaksanakan pelayanan, karena berbagai faktor yang dihadapi. Namun hasil percakapan dengan beberapa pihak pengguna lulusan ini memberikan semangat bagi STT GKE bahwa lulusannya diterima dan dinantikan di lapangan. Di tengah persaingan yang semakin ketat untuk menjadi vikaris GKE serta banyaknya tawaran pekerjaan lain bagi alumni STT GKE, kabar ini  memberikan tuntutan supaya semakin memperbaiki kualitasnya dalam pelaksanaan Tridarma pendidikan. Harapannya adalah lulusan yang dihasilkan benar-benar Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, dan Tinggi Pengabdian.

Pada akhirnya, Gereja dan lembaga pendidikan teologi adalah dua saudara yang berjalan beriringan. Hal ini telah dibuktikan dalam sejarah GKE dan penyelenggaraan pendidikan teologinya. Zaman boleh berubah semakin canggih, tuntutan pelayanan semakin kompleks, ajaran-ajaran teologi yang bertentangan dengan Alkitab mengancam warga GKE, serta berbagai situasi lainnya, teruslah berjalan bersama, saling memerlukan, mendukung, dan menopang demi tersampaikannya Kabar Baik bagi semesta dan kemuliaan bagi nama Tuhan!

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.