Pancasila bagi Teolog
Oleh: Pdt. Dr. Tahan M. Cambah
Tulisan ini adalah sebuah pemikiran, lebih tepat mungkin opini. Sebagai seorang pengajar yang sudah berkecimpung sekian tahun dalam dunia teologi, ada perasaan “asing” ketika Pancasila mulai dipelajari ulang. Berbeda dengan ketika masih menghafal isi Pancasila dan butir-butir pengamalan Pancasila.
Seperti yang diketahui pada umumnya, 1 Juni adalah hari lahirnya Pancasila, dimana Bung Karno mengusulkan ide tentang Pancasila melalui Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Rumusan Bung Karno kemudian diperbaiki sehingga muncullah rumusan yang sekarang.[1] Berdasarkan instruksi yang dikeluarkan Presiden Republik Indonesia nomor.12/1968 pada 13 April 1968, tata urutan dan rumusan Pancasila yang sah adalah:1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[2] Sejak saat itu rumusan tersebut dihapalkan di sekolah-sekolah, setidaknya sampai tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan nilai-nilainya terus dipelajari sampai sekarang.
Tentu saja, pertanyaan mendasar adalah apa arti Pancasila bagi saya? Harus saya akui bahwa Pancasila sampai sekarang dapat menjadi dasar negara yang ampuh. Ketika bangsa ini digoda untuk terpecah, maka Pancasila masih mampu menyatukan bangsa ini. Belum dapat saya bayangkan seandainya tidak ada Pancasila, entah bagaimana bangsa ini. Selama ada Pancasila, maka persatuan masih terjaga. Sebagai orang Kristen juga tertolong dengan nilai-nilai Pancasila yang dapat dipelajari bersama.
Nilai universal pun ada dalam Pancasila. Ada bagian kita sebagai sesama manusia yang selalu harus menjaga adab, menjaga kesatuan dan persatuan, memutuskan segala sesuatu dengan musyawarah mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Namun, semuanya berdasarkan pada sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya pengakuan kepada kekuasaaan Tuhan ini, seolah menjadi dasar untuk menjaga dan mengembangkan hubungan antar sesama manusia. Menurut Dewi Sallamah dan Dinie Anggreni Dewi, Pancasila merupakan fondasi bangsa yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan.[3] Oleh sebab itu, sudah terasa kebutuhan untuk membumikan Pancasila bagi generasi masa sekarang.[4] Dengan demikian, lahirnya Pancasila menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mengingat kembali bahwa bangsa ini berdiri atas kesamaan dan kesatuan. Jika tidak ada kesatuan, maka tidak akan terjadi kemerdekaan. Selain itu, nilai-nilai luhur Pancasila sangatlah signifikan jika tetap dipertahankan dan digali ulang.
[1] BPIP RI, “BPIP – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila,” BPIP – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, diakses 29 Mei 2024, https://bpip.go.id/.
[2] “Sejarah Hari Lahirnya Pancasila dan Kronologi Perumusan Pancasila,” Tribunnews.com, 29 Mei 2024, https://www.tribunnews.com/nasional/2021/05/31/sejarah-hari-lahirnya-pancasila-dan-kronologi-perumusan-pancasila.
[3] Dewi Sallamah dan Dinie Anggraeni Dewi, “Peran Dan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Berkehidupan Di Era Globalisasi,” Antropocene : Jurnal Penelitian Ilmu Humaniora 3, no. 1 (28 Januari 2023): 9–14, https://doi.org/10.56393/antropocene.v1i8.242.
[4] Azna Dewi Wulandari dan Dinie Anggraeni Dewi, “Urgensi Membumikan Pancasila Bagi Karakter Penerus Bangsa Di Era Globalisasi,” Jurnal Pendidikan Tambusai 5, no. 1 (14 April 2021): 926–30, https://www.jptam.org/index.php/jptam/article/view/1054.