Inspire Inclusion (Menginspirasi Inklusi)
Oleh: May Linda Sari
Judul tulisan ini adalah tema kampanye Hari Perempuan Internasional tahun 2024. Hari Perempuan Internasional (selanjutnya ditulis HPI) diperingati setiap tahun pada tanggal 8 Maret. Tema kali ini lahir dari kerinduan untuk menghadirkan dunia yang bisa menginspirasi dan mengapresiasi nilai-nilai inklusifitas, penerimaan terhadap semua orang dan komunitas, melibatkan semua kaum dalam upaya membangun kesetaraan dan keadilan bagi semesta. Bila dihubungkan dengan keberadaan kaum Perempuan, maka nilai inklusifitas itu tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada pelibatan kaum Perempuan dalam semua bidang kehidupan, meningkatkan solidaritas global terhadap hak-hak Perempuan yang selama ini masih belum dihargai sepenuhnya dan memberikan penguatan bagi upaya mengakhiri kekerasan berbasis gender. Warna yang melambangkan HPI tahun 2024 adalah ungu, hijau, dan putih. Warna ungu melambangkan keadilan dan martabat, hijau mewakili harapan, dan putih mencerminkan kemurnian.
Biasanya organisasi-organisasi Perempuan di seluruh dunia melakukan berbagai cara untuk memperingati HPI, sesuai dengan tujuan dan isu utama yang ingin disampaikan oleh organisasi itu. Beberapa diantaranya yang bisa disebutkan adalah kampanye tentang penghapusan kekerasan yang dilakukan di ruang publik, nonton bareng film-film berkualitas tentang perjuangan Perempuan, ada juga yang melakukan seminar, diskusi dan kegiatan-kegiatan lain yang semuanya bertujuan untuk mendukung dan menyuarakan keadilan dan keberpihakan kepada kaum Perempuan.
Adanya HPI sebenarnya adalah bentuk output atas masifnya Gerakan Perempuan di seluruh dunia. Gerakan Perempuan sendiri secara terstruktur bisa dikatakan berkembang dalam istilah gelombang-gelombang pemikiran dan pergerakan yang kalau ditelisik dimulai sekitar abad ke 18. Awalnya tentu saja Gerakan Perempuan bukanlah Gerakan bersama. Tiap wilayah dan negara mempunyai isu-isu perjuangannya masing-masing. Misalnya di Inggris perjuangannya untuk mendapatkan Pendidikan yang sama antara laki-laki dan Perempuan. Di Amerika isu utamanya saat itu adalah tentang penghapusan perbudakan, kesetaraan hak antara warga kulit putih dengan warga kulit hitam. Kesetaraan dalam hal ras dan warna kulit ini penting karena berhubungan dengan pemberian suara pada saat pemilu. Juga kesamaan dalam kesempatan kerja. Di Afrika berhadapan dengan politik Apartheid, pemenuhan kebutuhan pangan, kesulitan untuk mendapatkan akses kepada pelayanan Kesehatan. Sedangkan di Indonesia perjuangan Perempuan mula-mula menyangkut hak mendapatkan Pendidikan, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Keragaman isu yang harus diperjuangkan ini membuat para pejuang Gerakan Perempuan menyadari tentang perlunya kesatuan dan kerjasama. Benih-benih kesadaran bersama itu dimulai dengan adanya pertemuan untuk membahas tentang peringatan Hari Perempuan Nasional yang dilakukan pada 28 Februari 1909 di New York, Amerika Serikat. Agenda ini diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika Serikat untuk memperingati demonstrasi kaum perempuan yang terjadi setahun sebelumnya di New York pada 8 Maret 1908. Kemudian pada Konferensi Internasional Perempuan Pekerja yang kedua digelar di Kopenhagen pada tahun 1910, Clara Zektin, salah seorang perempuan dalam konferensi tersebut mengusulkan gagasan tentang Hari Perempuan Internasional. Usul ini diterima dan Pada tahun berikutnya, tepatnya tanggal 19 Maret 1911 HPI diperingati utnuk pertama kalinya di Austri, Jerman, Swiss dan Denmark. Di tahun 1913-1917 HPI dipakai sebagai Gerakan bersama penolakan terhadap Perang Dunia 1, juga aksi solidaritas sesama perempuan. HPI kemudian secara tetap diperingati pada tanggal 8 Maret karena tepat pada tanggal itu, di tahun 1917 Tsar Rusia memberikan hak untuk memilih untuk para perempuan. PBB sendiri baru memperingati HPI pada tahun 1975, atau setelah 64 tahun sejak deklarasi awalnya.
Kini, sudah 113 tahun HPI diperingati, apakah kesetaraan Perempuan dan laki-laki juga tentang keadaan diskriminatif yang dialami oleh kaum Perempuan dalam Masyarakat membuat perjuangan kaum Perempuan itu berakhir? Ternyata tidak juga. Pengalaman membuktikan bahwa budaya atau kultur Patriakhi yang menjadi akar ketidaksetaraan itu telah melebur dalam berbagai wajah dan nama yang semuanya berkontribusi terhadap pelanggengan tindakan diskriminasi itu. Patriakhi melebur dalam rupa oligarki, kolonialisasi, kapitalisme dan mazhab lainnya sehingga bertambah lagi jumlah bentuk kekerasan terhadap Perempuan yang membuat tujuan perjuangan kesetaraan Perempuan itu perlu terus diperjuangkan.
Meskipun demikian, tidak patut juga berkecil hati karena selalu ada hal baik yang muncul dalam setiap perjalanan sejarahnya. Banyak cerita sukses tentang giat keberhasilan perjuangan Perempuan misalnya dari segi perundang-undangan di Indonesia, ada undang-undang yang berpihak pada Perempuan dan kaum marginal seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) UU no.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU no. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi terhadap ras dan etnis, UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021 dan yang terbaru UU no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (disahkan pada tanggal 9 Mei 2022). Juga terlihat dari kiprah Perempuan dalam semua ruang publik yang sudah terbuka. Tugas masa kini adalah melanjutkan gerak langkah perjuangan itu dalam setiap segi kehidupan, agar api semangatnya tidak padam. Semangat dan selamat memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2024.