HeadlineKanan-SliderSlider

Sengsara

Oleh Pbrt. Dr. Tulus To’u, M.Pd

1. Ciptaan: baik dan sungguh amat baik

Pada mualanya adalah Firman. Firman itu bersama dengan Allah. Firman itu adalah Allah. Sebab itu, Firman itu kuasa, berkuasa, mahakuasa. Allah mencipta alam semesta dengan FirmanNya yang berkuasa itu. Ketika, Allah mencipta melalui FirmanNya, ”Jadilah ….maka jadilah hari pertama… Allah melihat semua itu baik.” Demikianlah selanjutnya hari kedua, hari ketiga, hari keempat, hari kelima, semuanya itu baik. Pada hari keenam, agak istimewa, selesai mencipta manusia dengan Firman yang penuh kuasa, Allah melihat ciptaanNya, “Sungguh amat baik.” Jadi, semua ciptaan Allah itu baik adanya. bahkan pada manusia, disebut, sungguh amat baik.

Kata baik itu dapat dimaknai selaras dengan rencanaNya. Sepersekutuan denganNya, sepersekutuan dengan sesama, dan sepersekutuan dengan alam semesta. Ia baik, karena Allah baik adanya Maka, semua ciptaanNya, semuanya baik, bahkan sungguh amat baik. Semua ciptaan yang baik itu mengekpresikan kebaikan Allah, dan Allah baik terhadap semua ciptaanNya. Sehingga, perlu ada relasi yang baik, antara semua sesama ciptaan. Manusia baik dengan Allah, baik dengan sesama manusia, baik juga dengan alam semesta (Robby Chandra).

2. Perilaku haus darah

Thomas Hobbes (1558-1679), melihat kehidupan dan keadaan masyarakat yang mementingkan kepentingan dirinya sendiri, bertindak sewenang-wenang, terutama yang kuat terhadap yang lemah. Dalam upaya mementingkan diri sendiri, ia berhadapan dengan kepentingan orang lain. Dua kepentingan yang saling berhadapan. Yang kuat, siap mengalahkan, menaklukkan, menyerang dan menerkam. Sebelum aku diterkam, saya akan terkam lebih dahulu. “Manusia adalah serigala bagi sesamanya,” kata Hobbes. Perilaku yang buas bagai serigala itu, yang menyengsarakan sesama, mungkin Anda dapat amati, dengan jeli, dalam beragam bentuk praktik hidup sehari-hari, di sekitar Anda?

Beberapa dekade kemudian, John Locke (1632-1704), mengatakan bahwa manusia lahir ibarat kertas putih bersih. belum ada apa-apa, kosong, sikap, perilaku, perbuatan, moral dan etika, belum terbentuk. Bagaimana agar seseorang bertumbuh dan terbentuk hal-hal yang baik dan benar, dalam diri dan hidupnya? Ia memerlukan lingkungan dan pengalaman yang mendidik dan mengajarnya. Pendidikan dan pengalaman belajar itu, akan menjadi kekuatan yang baik untuk mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan ibarat pena emas yang akan dituliskan pada kertas putih itu. Jadi, pendidikan, sangat penting bagi pembentukan manusia berkualitas. Pendidikan, semestinya menolong manusia semakin berbudaya lebih manusiawi kepada sesamanya. Berperilaku cerdas, rendah hati, hormat dan menghargai sesamanya. Orang terdidik, bagaikan padi yang penuh isi, semakin berisi, semakin merunduk.

Selanjutnya, Jean Jacques Rousseau (1712-1778), mengatakan bawa manusia lahir dalam keadaan baik, membawa hal-hal baik, potensi yang baik ada dibawa dalam dirinya. Yang membuat dirinya kemudian dapat menjadi tidak baik dan buruk, oleh karena masyarakat di sekitar dirinya yang buruk dan tidak baik. Yang lahir baik, dirusak oleh lingkungan yang tidak baik. Maka, agar yang lahir baik itu, dapat tumbuh kembang menjadi baik, ia perlu upaya-upaya pengembangan intelekktual, moral dan agama. Pengembangan hal-hal itu, diharapkan seseorang memiliki intelektual yang baik, moral yang baik, dan agama yang baik, yang kesemuanya dipraktikan dalam perilaku sehari-hari. Sehingga, kebaikan-kebaikan memancar kepada sesamanya. Berintelektual baik, sekaligus bermoral baik, dan beragama baik. Sehingga, terkikislah perilaku bagai serigala, yang menyengsarakan sesamanya.

3. Berhenti saling memenggal kepala

Budaya haus darah pernah membelenggu masyarakat Dayak di Borneo. Saling membunuh dan memenggal kepala (kayau-mengayau), yang terjadi dalam perang antar suku Dayak, atau untuk kepentingan upacara adatnya. Budaya membunuh dan memenggal kepala itu, memberikan stigma negative, bagi suku Dayak, sebagai suku yang buas, kejam, bengis, biadab dan primitive.

Belanda yang merasa takut, sebagaimana orang Dayak juga takut, dengan budaya tanpa rasa kemanusiaan, berusaha mencari jalan untuk menghentikannya. Pada 14 Juni 1893, di Kuala Kapuas diadakan pertemuan pendahuluan. Selanjutnya, Perjanjian Tumbang Anoi terlaksana pada pertemuan 1 Jan- 30 Maret, 1894, dengan Tuan Rumah, Damang Batu 73 tahun, di Betangnya yang besar, desa Tumbang Anoi. Pertemuan Perjanjian Dayak itu dihadiri sekitar 1000 orang, dengan 600 utusan dari seluruh tokoh Dayak se-Borneo. Hasil Keputusan dan Perjanian itu, adalah, orang Dayak berhenti 3-H ( berhenti Hakayau = saling mengayau; Habunuh = saling membunuh; Hatetek = saling memenggal kepala).

Sejak perjanjian itu, budaya perang yang saling membunuh dan memenggal kepala, mulai berhenti. Masa kelam, menakutkan dan menyengsengsarakan, telah berlalu. Masa saling menghargai dan menghormati antar sesama suku Dayak telah datang. Injil yang dibawa masuk ke Borneo tahun 1835, diawali oleh J.H.Banrstein, ikut memberikan Cahaya Terang bagi orang Dayak. Layanan pendidikan, kesehatan dan Injil, secara perlahan ikut membaharui dan mengubah lebih baik, maju dan sejahtera kehidupan orang Dayak. Adat, budaya dan kebiasaan yang merusak dan menyengsarakan hidup, perlahan-lahan ditinggalkan. Cahaya Abadi Ilahi menyinari kegelapan Borneo. Pendidikan telah berperan memgangkat harkat orang Dayak. Mereka mampu tampil berkarya melayani bagi kemajuan masyarakatnya.

4. Musibah sengsara menimpa

Salah seorang murid saya waktu saya baru menjadi guru di SMA, dalam diskusi kelas, “Katanya, Allah kasih? Mana kasihNya pada orang yang menderita? Katanya, Allah maha kuasa? Mana kuasaNya untuk menolong orang mendeita? Aku lebih suka dengan Charles.R.Darwin, bahwa adanya manusia hasil proses evolusi, bukan oleh Tuhan.” Teman lainnya, berpendapat, “Kalau ada orang-orang menderita, itu sebenarnya berarti Allah memanggil kita untuk menolong dan mengasihinya.” Wow…istimewa juga pendapat temannya ini. Bukan Allah tidak kuasa, dan bukan Allah tidak mengasihi. Tetapi, Allah mau melibatkan dan memakai sesama manusia, untuk belajar hidup saling menolong dan mengasihi. Bukan untuk saling menyerang, menerkam, memangsa, ibarat serigala bagi sesamanya. Tetapi, hatinya dibalut iman dan kasih, bibir yang menggembalakan, tangan terulur mengangkat dan menopang, kaki memimpin ke jalan lurus. Itulah, panggilan kasih Allah, mengasihi karena dikasihiNya, dikasihiNya untuk mengasihi.

Sehingga, ketika banjir bandang menyapu berbagai pelosok negeri, longsor tumpah mengikis lereng dan bukit-bukit di berbagai sudut nusantara, gempa bumi memporak-poranda banyak bangunan di berbagai wilayah, kerugian harta benda, sarana-prasara, infrastruktur, ekonomi, moril-materil, bahkan korban jiwa raga. Orang tidak berkeluh-kesah, mana Tuhan Allah? Maka kuasa dan kasihNya? Tidak! Tetapi, sebagai anak-anak bangsa, tanpa melihat latarnya, Bersatu berpegangan tangan, menolong dan mengulurkan tangan, bermuara hati dibalut kasih. Kasih kepada mereka yang tertimpa musibah dan sengsara. William Barclay, “Tangan kita dipakai Tuhan menjadi tangan Kristus, terulur bagi pertolongan kepada sesama.”

5. Sengsara Kristus

Kristus melalui sengsaraNya, sehingga banyak yang diampuni, dibenarkan, ditebus, dan disembuhkan. SengsaraNya menghasilkan pemuliaan-Nya. Tidak ada seorang manusiapun, yang sanggup menanggung beban sengsara seberat salibNya. Yesus Kristus, Anak Allah, Dia satu-satunya yang sanggup. SengsaraNya, bukan karena kesialan, bukan karena nasib buruk. Tapi, inilah jalan bagi-Nya, ditentukan sejak semula. Yesus datang ke dunia, mati untuk menanggung sengsara manusia.. Maka, makna sengsaraNya, a.l.

Pertama : sengsara Kristus, untuk menebus dosa manusia. Ia, mendamaikan Allah dengan manusia. Sengsara dosa manusia, ditanggungkan kepadaNya. Kedua, sengsaraNya, bukti kesetiaanNya, bersama dan berpihak membela manusia berdosa. Yesus Pembela sejati. Ketiga, Ia berada bersama dan sobat setia bagi yang sengsara. Keempat, via dolorasa, adalah jalan kemenangan, bukan jalan kekalahan. Sebab, ada kebangkitanNya, dan kebangkitan orang percaya dalam namaNya.
Kelima,. kasih dalam solusi konflik : “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya…” (Mat 26:52). Kekerasan tidak efektif untuk menyelesaikan masalah. Tapi, kekuatan iman, moral spiritual, dan kasih sejati, maka, kejahatan dibalas kebaikan, kesabaran, kemurahan. Keenam, sengsara, dapat membawa kedewasaan rohani orang percaya. Sengsara, bagian dari proses menghayati pengharapan kristiani. No crisis no growth. Imannya bertumbuh. Ketujuh, Sengsara, dapat membuat seseorang semakin peduli sesama, semakin mencintai Tuhan dan sesamanya. Bahkan, berempati dan berbelarasa terhadap sengsara sesamanya. Sengsara kalian, sengsara kami; sengsaramu, sengsaraku. Tangan terulur peduli empati.

6. Makna kata

Dalam proses imaginative kreatif, menemukan makna inspiratif kata SENGSARA:
S = Semua pada mulanya, Engkau ciptakan baik, dan sungguh amat baik
E = Engkau ciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia bagi hidupnya
N = Nikmat, riang gembira, bahagia, Engkau bentangkan ke hadapan manusia
G = Gejolak pergulatan dan tantangan, derita dan air mata, sengsara membalut hidup
S = Salah di pundak manusia, yang ingin menjadi seperti Allah, terbuai muslihat iblis
A = Akhirnya, diusir dari taman hidup bahagia, mengembara di gurun prahara
R = Rahasia hidup berkemenangan dalam sengsara, kutemukan dalam Kristus Tuhanku
A = Agung mulia, sengsaraNya memerdekakan aku dari dosa salahku. Sengsaraku, kupanggul bersamaNya, yang memberiku kekuatan.

SELAMAT MERAYAKAN MINGGU SENGSARA KRISTUS

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.