HeadlineKanan-SliderSlider

HATI HAMBA

Oleh Pbrt. Dr. Tulus To’u, M.Pd

1. Pengerdilan diri

Michel Quist, dalam buku “Mawas Diri.” Dalam diri manusia ada dua kekuatan besar. Pertama, kekuatan yang mengarahkan pada perluasan dan persatuan manusia. Kekuatan yang membuat orang meluaskan relasi dengan banyak orang, bukan untuk membuatnya terpisah dan tercerai-berai. Sebaliknya, untuk memperkuat ikatan dan kebersamaan, yang menyatukan dan mempererat ikatan kemanusiaan. Kekuatan ini akan membesarkan makna hidupnya. Kekuatan disebut kekuatan kasih. Kekuatan ini mendorong manusia membangun masyarakatnya.

Kedua, kekuatan sebaliknya, matanya terpaku dan terpusat melihat ke dalam dirinya. Ia memikirkan segala kebutuhan dan keperluan dirinya. Ia memobilisir potensi diri untuk memenuhi kebutuhan diri, dan melupakan sesamanya. Bahkan, sesamanya, dapat diperalatnya untuk kepentingan dirinya. Hal ini justeru dapat membuat dirinya terpisah dan terasing dari sesamanya. Bukan semakin besar, tetapi semakin memperkecil dirinya, di mata orang. Kekuatan ini adalah pengerdilan dan pengasingan diri, disebut egoisme. Egoisme, yang mendorong dirinya mengangankan sukses dan untung diri sendiri. Laba diri sendiri. Melupakan sesamanya. Sehingga, mengerdilkan diri dan hidupnya, sekedar bermanfaat bagi diri sendiri.

2. Hasrat bagi diri sendiri

Peterson dan Plowman, berpendapat bahwa dalam diri manusia ada 4 desire (hasrat/ keinginan).

  1. Desire to live and survive (hasrat untuk bertahan hidup). Untuk dapat hidup dan berhatahan hidup, ia membutuhkan, paling tidak, memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan. Sehingga, usaha, kerja, perjuangannya, dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan itu. Hal yang dianggap menghalangi dan menghambat hasrat hidup dan bertahan hidup, akan dilawan dan dihadapi dengan tenaga dan kemampuannya.
  2. Desire for possesion (hasrat ingin memiliki sesuatu). Hidup tidak hanya memakai, menggunakan, memanfaatkan dan menikmati yang ada padanya. Akan tetapi, dalam dirinya, ada hasrat untuk memiliki dan mempunyai hal-hal berkaitan dengan segala kebutuhannya. Hasrat memiliki barang terkait kebutuhan sandang, barang terkait kebutuhan papan, juga yang terkait kebutuhan mental, spiritual dan sosial. Kebutuhan-kebutuhan memiliki, ia tidak tetap-menetap, tetapi berubah, bahkan meningkat, seiring kemajuan dan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan seseorang. Ekonomi makin meningkat, kesejahteraan makin baik, maka kebutuhanakan berubah dan meningkat. Tampilan wah…. mungkin ikut menggoda.
  3. Desire for power (hasrat memiliki kuasa). Hidupnya, belum cukup, hanya diatur, dikendalikan, dipimpin orang lain. Hasrat merdeka, bebas, mandiri, ada kuasa, berkuasa, ada pengaruh dan kedudukan, menjadi incarannya. Hasrat ada apadanya untuk mengatur, memerintah, mempengaruhi, berkuasa, memimpin, jadi pemimpin. Dalam berusaha dan bekerja, hasrat berkuasa akan memicu upaya-upaya kerja agar hasrat itu terpenuhi. Hasrat berkuasa, sesuai ruang lingkup dirinya.
  4. Desire for recognation (hasrat utk diakui, dihargai, dipuji). Membiarkan diri kurang memiliki memiliki sesuatu yang bernilai, kuasa dan kedudukan yang belum memadai, kemungkinan dipandang sebelah mata. Sebab itu, usaha, kerja keras, perjuangan gigih, adalah upaya untuk meningkatkan kepemilikan yang lebih baik, kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi. Sehingga, ia memperoleh dan memenuhi untuk hasrat untuk diakui, dihargai dan dipuji.

Bila ke 4 hal di atas, dicermati, maka seperti Michel Quist, hasrat-hasrat itu, merupakan kekuatan pengerdilan dan pengasingan diri. Mendorong dirinya mengangankan sukses dan untung diri sendiri. Margin hanya bagi diri sendiri. Melupakan sesamanya. Sehingga, mengerdilkan diri dan hidupnya, sekedar cukup bermanfaat bagi diri sendiri. Orientasinya hanya dan baru sampai ke dalam diri sendiri, belum ke luar diri.

3. Hasrat untuk mengasihi Allah dan sesama

Manusia yang diciptakan Allah, dalam pertumbuhan, dan untuk pertumbuhannya, membutuhkan banyak hal. Kebutuhan dasar secara fisik, SP-2, yakni sandang, papan, pangan. Mustahil seseorang hidup tanpa hal itu. Akan tetapi, ternyata, bukan hanya itu saja kebutuhannya. Dalam diri seseorang, ada kebutuhan untuk dikasihi, dicintai, dihargai dan dihormati. Tanpa ia merasakan diri dikasihi, dicintai, dihargai, dihormati, ia akan menderita dan tidak berbahagia. Sebagai reaksinya akan keadaan itu, dapat terjadi penyimpangan sikap, perilaku dan perbuatannya. Atau muncul sikap, perilaku atau perbuatan yang di mata orang lain, agak lain dari biasanya atau seharusnya. Ia nampak tampil beda. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang tertinggi, di antara segala ciptaan, makhluk bermartabat, manusia memang layak dan pantas untuk dikasihi, dicintai, dihargai dan dihormati.

Sehingga, terkait dengan hal itu, Tuhan menaruh kasih-Nya, pada manusia, lebih special lagi, ditaruh di hatinya Hal itu memungkinkan manusia dalam hatinya memiliki kasih. Ada hati yang mengasihi. Maka, tumbuhlah hasrat hati untuk mengasihi Allah dan sesamanya. Hasrat hati mengasihi ini, yang mendorong dan memotivasi manusia untuk terjun, siap sedia rela mengabdikan diri dan hidup berkarya bagi kemuliaan Allah. Berkarya dan melayani sesamanya. Hidupnya dipersembahkan dan dikorbankan bagi kepentingan, kemajuan dan kesejahteraan sesamanya. Sehingga muncul dan tampil pekerja-pekerja sosial, relawan-relawan sosial, dan pahlawan-pahlawan sosial. Hidup bermanfaat dan berdampak bagi kemajuan sesamanya.

Iman dan kasih, memotivasi ilmu dan keterampilan life skill-nya dimanfaatkan bagi keuntungan dan kepentingan banyak orang, kemaslahatan bagi orang banyak. “Sekalipun aku memiliki seluruh pengetahuan, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna,” (I Kor 13: 2,3). Kasih yang berbuat, kasih dalam perbuatan, maka hidup berdayaguna bagi sesama.

4. Melayani dengan hati hamba

Francis Cosgrove, mengutarakan mengenai karakter seorang pemimpin pelayan, yang berhati hamba:

  1. Ia rendah hati. “Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya,” Murid-murid dan orang percaya belajar rendah hati menerima kemungkinan yang suram itu.(Mat. 10:24).
  2. Ia berhati sabar. “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, ….. lakukan dengan segala kesabaran.” Pemimpin pelayan itu membutuhkan sikap sabar dalam tugasnya. Karena ada banyak hal yang dapat menekan dan menghimpitnya dalam tugas memimpinnya. Lebih-lebih model memimpin yang melayani, sudah barang tentu butuh kesabaran ekstra. Karena melayani itu memang butuh kesabaran (2 Tim 4:2).
  3. Ia setia mulai dari hal kecil. Kesetiaan terbentuk melalui latihan dan kebiasaan. Kalau sudah dilatih dan dibiasakan setia dan benar dalam hal-hal kecil, maka ia akan biasa dan terlatih juga untuk setia dan benar dalam perkara yang besar (Luk 16:10).
  4. Ia rajin dan tekun bekerja. Ia tidak hanya bekerja ketika tuannya ada. Ia bekerja dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Ia bertanggung jawab atas tugas dan kepercayaan tuannya. Ia tidak bekerja karena dan setelah disuruh oleh tuannya. Ia bekerja secara kreatif dan berinisiatif (Mat. 24:45,46).
  5. Hidupnya penuh dedikasi. Pemimpin pelayan adalah orang yang membuat komitmen melayani dengan dedikasi tinggi. Secara total ia berbuat bagi orang yang dilayaninya. Hidup dan karyanya diberikan sebagai tanda dedikasinya bagi mereka yang dilayaninya.
  6. Ia sibukn bekerja melayani. Bagi seorang hamba, melayani tuannya merupakan tugas utama dan pertama. Bahkan hidup dan kerjanya bagi kepentingan tuannya. Seorang pemimpin pelayan, sibuk dalam melayani. Melayani orang-orang yang dipimpinnya. Bukan memimpin untuk dilayani (Luk 17:7,8).
  7. Ia selalu siap-sedia untuk melayani. Pelayan selalu berjaga-jaga dan penuh perhatian terhadap hal-hal yang dibutuhkan tuannya untuk dilakukan. Kapanpun tuannya memerlukan dirinya, ia selalu siap sedia untuk melayani tuannya (Luk 12: 35,36).
  8. Ia taat dan menghargai orang yang dilayaninya. “Hai hamba-hamba taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah. Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka,” (Ep 6:5,6. Titus 2:9).

Siapa yang ingin menjadi besar, siapa yang ingin menjadi terkemuka, biarlah ia memiliki hati hamba, hamba yang melayani, melayani dengan hati hamba, meskipun ia adalah tuan dan pemimpin. Pemimpin berhati hamba, melayani dengan hati hamba. Segala yang dilakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukan dengan segenap hati, dalam nama Tuhan Yesus, seperti untuk Tuhan Yesus, meskipun itu dilakukan untuk sesama manusia.

5. Makna kata

Dalam proses penulisan ini, secara kreatif menemukan arti dan makna kata MELAYANI:
M = Melakukan karya dan pengabdian, melayani dengan hati hamba
E = Empaty peduli pada sesama yang bergumul menghadapi beratnya hidup
L = Layani sesama tanpa memandang muka dan status
A = Agung mulia, kasih kekal-Nya, tanpa sekat dan batas
Y = Yesus Tuhan telah memberikan nyawaNya bagi dunia
A = Aku melayani, Tuhan dan sesame, karena Kristus lebih dahulu melayaniku
N = Nama-Nya, nama di atas segala nama, layak dimuliakan
I = Ini amanat-Nya, terkemuka dan besar yang mengabdi bagi sesamanya

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.