HeadlineKanan-SliderSlider

Gereja dan Hari Kartini

Oleh Retni Mulyani

Setiap 21 April dirayakan Hari Kartini dengan kegiatan lomba berbusana Kebaya. Lomba ini dilakukan dari jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, bahkan Gereja pun turut memeriahkan Hari Kartini dengan lomba semacam ini. Para peserta lomba mempersiapkan diri sebaik mungkin, misalnya dari kebaya yang akan dipergunakan, aksesori,  riasan rambut dan wajah. Persiapan ini pastinya disesuaikan dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh panitia yang mengadakan lomba dan pastinya bukan hanya memperhatikan penampilan secara fisik tetapi juga kemampuan para peserta dalam memaknai Hari Kartini. Lomba semacam ini merupakan salah satu cara untuk mengupayakan bagi generasi muda memaknai perjuangan Kartini bagi perempuan pada masa itu.

Kartini ketika berusia 12 tahun tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah karena harus dipingit sesuai dengan tradisi masa itu. Tradisi yang mengharuskan seorang gadis dipingit sampai seorang laki-laki datang melamarnya. Kartini merasa sedih dan iri melihat saudara laki-lakinya yang bisa bersekolah dan boleh keluar rumah, dan Kartini membujuk ayahnya supaya dia diizinkan untuk melanjutkan sekolah. Tetapi ayahnya tidak bisa melanggar tradisi pingitan tersebut.  Namun, Kartini cukup terhibur karena masih diizinkan membaca buku dalam bahasa Belanda dan menerima surat-surat dari temannya orang Eropa.

Kartini memiliki kemauan kuat untuk belajar, karena keinginannya inilah dia bercita-cita membebaskan perempuan dari tradisi yang meminggirkan perempuan dalam mendapatkan akses pendidikan. Seorang perempuan mengurus pekerjaan rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah, tetapi ketika pekerjaan rumah tangga menjadi batasan ruang lingkup perempuan maka itu sama saja memenjarakan intelektualitas perempuan dalam mengembangkan dirinya.  Pekerjaan rumah tangga bisa sama-sama dilakukan baik anak perempuan maupun anak laki-laki karena itu melatih seseorang bertanggungjawab dengan hidupnya. Misalnya hal yang sangat sederhana, sehabis makan seorang anak laki-laki meletakkan begitu saja piringnya dan membiarkan orang lain yang mencucinya. Sewajarnya sehabis makan mencuci piring sendiri sehabis makan, karena ini melatih seseorang untuk bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Kritik paling tajam adalah perempuan harus mendapatkan hak yang sama dalam hal pendidikan.  Perempuan sudah seharusnya memiliki hak yang sama seperti anak laki-laki yang bisa sekolah dan bergaul dengan lingkungan sekitarnya.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk masa depan seseorang, dan bukan hanya masa depan anak laki-laki. Tetapi masa depan anak perempuan juga memiliki tempat yang sama dalam mengembangkan dirinya. Gereja sudah seharusnya memberikan akses pendidikan yang membebaskan bagi perempuan dalam mengembangkan dirinya. Gereja bisa memulainya melalui pembinaan keluarga Kristen dalam membentuk pemahaman bahwa anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama istimewa. Pada masa kini, perempuan dalam Gereja sudah memiliki tempat setara dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan. Contohnya konteks Gereja Kalimantan Evangelis, sudah terdapat pendeta-pendeta perempuan yang bergelar sarjana, magister dan doktoral. Ini juga menjadi salah satu mimpi Kartini, “habislah gelap terbitlah terang.”   (By Retni Mulyani)

Bagikan tulisan ini:

One thought on “Gereja dan Hari Kartini

Leave a Reply

Your email address will not be published.