HeadlineKanan-SliderSlider

LIDAH MURID (Menyambut 183 Tahun GKE, Refleksi Yes 50:4-9)

Oleh Tulus To’u

I. GKE, 183 Tahun

Pemberita J.H. Barnstein. berangkat 15 Juli 1834 dari Jerman, dan tiba, 26 Juni 1835, di Banjarmasin, Borneo. Ia membawa Injil, Kabar Baik, kepada orang-orang Dayak. Inilah, awal Injil Kristus menerangi jiwa-jiwa haus dahaga orang Dayak. Sejak itu, mulailah layanan Pemberitaan Injil Kristus disemai di Tanah Dayak. Pusat-pusat pemberitaan Injil satu-persatu didirikan di tanah Dayak. Pusat kegiatan dan layanan pendidikan, kesehatan, dan keterampilan, mulai dibuka. Setelah beberapa tahun layanan, maka buah pertamanya, seorang Dayak, percaya dan terima Tuhan Yesus, sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Ia dibaptis pada 10 April 1839, di Bethabara, daerah Kapuas. Itulah momen bersejarah, dipilih sebagai hari lahir GKE. Tahun 2022, tgl 10 April, HUT 183 Tahun GKE. Berikut sepotong catatan sejarah Misionaaris Hendrich.

II. Lawatan pastoral Misionaris Hendrich ke Boentok, 15-17 Okt 1906.

Missionaris Hendrich, bersama Misionaris Tromp, melayani di Tameang Lajang. telah lama berniat melawat jemaat di Boentok. Tromp tiba-tiba sakit. Jadi saya, Hendrich, harus berkunjung sendiri, ditemani 2 anak asuh Tromp. Bahasa Ngadju, bahasa yang dipahami di Beontok. Kemampuan saya berbahasa Melayu sangat minim. Berikut kisah singkat perjalanan pastoralnya (Hadi Saputra Miter, penerjemah):

  1. Tameang Lajang – Patung – Djihi, 12-13 Okt 1906. Dari Tamiang Layang berangkat menunggang kuda. Melewati desa Dayu, istirahat di rumah kepala desa.. Selanjutnya, malamnya, menginap di rumah wakil kepala desa di Patung. Perjalanan panjang dari Patung, tiba di desa Lampeong, lalu singgah ke desa Pinang Tunggal, untuk berteduh dan mengunjungi ipar Daniel Akar (guru). Ia turunan Belanda, hidup bertani seperti orang Dayak. Rumahnya sangat kecil, hanya memiliki satu ruangan, yang berfungsi sebagai dapur, ruang tidur dan ruang tamu untuk 8 orang. Bersamanya ada kerabat dari istrinya seorang Kristen Dayak dari Kwala Kapeoas, dan anak-anaknya yang lebih besar membantu melakukan pekerjaan yang paling mudah. Dia melakukan pekerjaan yang berat. Ia sosok pria yang setia pada imannya. Dia ingin mengirim anak-anaknya ke Missionaris Tromp di Tameang Lajang, agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak. Malamnya, kami diantarnya ke Djihi. Istirahat bermalam di rumah Kepala Kampung Djihi, yang luas, yang dibangun untuk kantor dinas Controleur.
  2. Djihi – Boentok. 14 Okt 1906. Perjalanan masih 20 Km dari tujuan. Jalan Djihi ke Boentok, dua kali lebih panjang bagi kami, karena harus melewati hutan sekitar 14 Km. Kami tidak melihat sebuah rumahpun sejauh mata memandang. Pemandangan jalan di sini sungguh indah. Jalan, baru dibangun, dengan lebar 4 M. dan juga permukaannya ditinggikan. Kami tiba di tempat di mana beberapa keluarga berkumpul dan mendirikan sebuah desa (Rikut Jawu/ Sababilah?). Sambil minum teh, Saya, mencoba sedikit menghibur anak laki-laki teman saya, dengan kata-kata yang baik agar mereka selalu bisa merasa terhibur. Ada danau kecil yang lebarnya setengah jam yang harus dilewati, dan kemudian dua jam berjalan kaki lagi sebelum sampai di Boentok. Akhirnya setelah 3 hari perjalanan, kami tiba di Boentok, menjelang malam, dan melupakan semua kelelahan, saat melihat ukuran dan keindahan tempat ini!
  3. Boentok, 15-17 Okt 1906. Controleur (pejabat Belanda), sangat baik kepada kami dan mengijinkan saya tinggal di rumahnya selama 3 hari, sangat menyenangkan. Dia tertarik pada tujuan kita, saya adalah tamunya untuk hari itu. Sedangkan sisa waktu, saya manfaatkan untuk bertemu anggota jemaat. Jumlah mereka ada 19 (dewasa dan anak-anak). Umat Kristen aslinya oloh Ngaju, mereka berasal dari Bandjermasin dan Kwala Kapeoas. Mereka telah tinggal di sini selama 4 tahun dan tetap setia. Ketua Jemaat mereka, pengawas depot garam di Boentok, seorang pejabat Kristen bernama Efraim. Setiap sore kami berkumpul di rumahnya atau di sekolah. Puncak dari pertemuan persaudaraan kami adalah perayaan Perjamuan Tuhan di mana ada 12 orang ambil bagian.
    Saya merasa sangat nyaman dengan orang-orang Kristen di Boentok. Mereka adalah sukacita dan mahkota kita. Itu membuat profesi kami berharga dan seharusnya membuat Anda, Sahabat Misionaris, mencintai Misi di Kalimantan! Sebagai tanda iman mereka yang hidup, saya menerima 6 gulden dari jemaat kecil di Boentok, untuk membantu perbendaharaan di Tameang Lajang. Ini adalah pertanda baik ketika anak memberikan dukungan kepada ibu yang sudah lanjut usia. Dapat dimengerti bahwa orang-orang Kristen di Boentok ingin memiliki seorang Misionaris. Saya akan mengunjungi mereka sesering mungkin, jika Tuhan memberi saya kesehatan. Controleur mengatakan bahwa ada baiknya saya berkunjung setiap bulan.
  4. Pulang ke Tameang Lajang, 18 Oktober 1906. Kali ini perjalanan naik perahu, milir menyusuri sungai Barito. Anak-anak, saya suruh pulang lewat darat membawa kuda. Samuel, warga jemaat Boentok, menemani saya ke Tameang lajang dan juga ke Beto. Kami mengunjungi desa Saripanji, sebuah desa tiga jam menyusuri sungai dari Boentok. Seorang Kristen bernama Seth tinggal di sana. Dia menghampiri saya, dan meminta membaptiskan istri dan anak-anaknya. Tentu saja, wanita itu perlu lebih dulu, mengenal kebenaran keselamatan yang sejati. Seth mulai mengasah dirinya sendiri. Dia memiliki buku yang bagus, selain lagu, juga 5 bab buku katekesasi. Seth memakai buku itu mengajar istrinya. Di Bangkoang, kami menghabiskan malam itu bersama Kepala suku. Dia membantu kami keesokan harinya, ketika kami mendayung dengan cepat. Tidak jauh dari Mada, kami harus turun dari perahu dan berjalan menuju Tameang Lajang. Semakin lama kami mendekati Telang, bekas pos Misi, semakin buruk tanahnya; pasir dan tidak ada apa-apa selain pasir putih yang terlihat di sana.
  5. Refleksi. Kisah lawatan pastoral di atas, gambaran keadaan warga jemaat saat itu. Jumlah masih bisa dihitung dengan jari. Buntok, hanya 19 orang (dewasa/ anak), dan oloh Ngaju (orang Ngaju), sedang oloh Maanyan (orang Maanyan), belum ada yang menjadi warga jemaat. Jadi, cikal bakal Jemaat Buntok, adalah teman-teman dari Dayak Ngaju. Luar biasa, mereka sudah dapat memberi persembahan 6 Gulden untuk mendukung pelayanan di jemaat induk Tamiang Layang (dan sekitarnya cikal bakal warga jemaat Dayak Maanyan). Transportasi melalui hutan belantara, dengan berkuda. Menyusuri sungai barito dengan perahu, dilanjutkan jalan kaki. Memberitakan Injil, panggilan penuh tantangan dan rintangan. GKE lahir 1835, dan kurun waktu 67 tahun kemudian, menyelami kisah di atas, nampak hal pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kemajuan, masih jadi impian, yang amat sangat jauh. Sisi gelap tanah Borneo, masih belum beranjak banyak. Itulah tantangan GKE kala itu. Namun, semangat membawa Terang Kristus, tidak pernah padam. Perlahan dan pasti, Terang-Nya memancar kemana-mana. Dinamika, perkembangan dan pertumbuhan bergerak naik. Hingga 183 tahun berjalan, GKE menjadi 343.023 jiwa. 1.202 Jemaat, 289 calon Jemaat. 102 Resort, 18 calon Resort. Hasil layanan estafet pelayan-pelayan Kristus, mengabdi dalam keterbatasan dan tanpa pamrih, Semangat “Ajarlah mereka melakukan …” benih-benih itu, telah berakar kuat, lalu bertumbuh, dan berbuah.

III. Murid Kristus

  1. Jadikan murid. Gereja yang hidup, melaksanakan misi Kristus, “Jadikan semua bangsa murid-Ku.” Sehingga berangkatlah ke seluruh penjuru bumi, para Pewarta Injil, salah satunya J.H. Barnstein, dari Jerman, 15 Juli 1834, tiba di Banjarmasin 26 Juni 1835. Juga cuplikan di atas, kisah lawatan pastoral Hendrich. Segala aktivitas, program, layanan gereja, untuk mewartakan Injil, yang menerima dan percaya, menjadi murid Kristus. Agar murid-murid dikenal sebagai murid-Nya, harus hidup saling mengasihi. “Ajar mereka melakukan yang Ku perintahkan kepadamu,” intinya, kasih kepada Allah, kasih kepada sesamanya, dan kasih kepada diri sendiri. Ini misi gereja dan misi orang percaya, memuridkan dan mengajar melakukan kasih-Nya. Menjadi orang-orang yang misioner, dengan berakar dalam Kristus, lalu bertumbuh dan hidup berbuah.
  2. Telinga Murid. Telinga berfungsi mendengar. Mata berfungsi melihat. Bagi murid Kristus, telinga dan mata, lebih jauh, memiliki fungsi pendiddikan dan pembelajaran. Mata, untuk melihat dan membaca, serta memilah, segala hal yang memiliki nilai dan manfaat pendidikan dan pembelajaran bagi dirinya. Demikian pula telinganya, untuk mendengar dan memilah segala hal yang bernilai dan bermanfaat bagi pendidikan dan pembelajaran bagi kemajuan dirinya. Telinga murid, seorang murid Kristus, adalah telinga yang terbuka lebar untuk belajar. Terbuka, peka, tajam, antusias untuk hal-hal yang membaharui, meningkatkan, menumbuhkan, mengembangkan dan memajukan dirinya. Telinga dan mata terbuka, belajar otodidak, terencana atau terstruktur. Sepanjang hayat, tidak pernah terlalu tua untuk belajar, “Long life education. Not too old to learning.” “Tugas seorang pelajar, seorang murid, adalah belajar,” kata Dr.Harun Hadiwijono, kepadaku, dulu, ketika wawancara masuk STT Duta Wacana, Yogyakarta. Belajar dan berguru pada banyak dan beragam guru. Guru utamanya, Guru Agung, Yesus Kristus, Pengutusnya. Inilah yang diperlukan warga GKE, murid-Nya, memiliki telinga murid, telinga yang terbuka, untuk belajar.
  3. Hati dan tampilan murid. Hasil belajar murid, diaplikasikan dalam praktik hidup. “Apa yang diimani, mesti dikembangkan dalam ketaatan,” Andar Ismail. “ Iman sebagai tindakan “doing,” iman itu, sebagai pelaksanaan kehendak Allah,” Thomas Groome. Sementara dunia, bergerak dalam arus yang berlawanan, menekan, menghimpit, menghalangi, menghambat, bahkan menentang dan melawan. Bagi murid Kristus, misi memuridkan, tidak mudah, berat, penuh tantangan dan pergumulan. Bahkan menggentarkan dan menakutkan. Namun, ia meneguhkan dan menguatkan hatinya. Menggantungkan dan mempercayakan hidupnya pada Guru Agungnya, yang mengutusnya. “Segala kuasa di sorga dan di bumi ada pada-Ku. Aku menyertai kamu senantiasa,” kata-Nya. Sebab itu, murid Kristus, berani tampil beda, beda dari dunia, tidak ikut arus dunia. Yakin, tidak akan dipermalukan, tampilan berkualitas, hidup bermutu, dalam kebenaran, teladan berbuat baik, tidak bercacad-cela, adil dan takut akan Tuhan. Hidup jadi kesaksian, bersinar seperti fajar di waktu pagi.
  4. Lidah murid. Ketika seseorang percaya dan terima Kristus, sebagai Tuhan dan juru selamatnya. Ia adalah murid Kristus. Telinganya, telinga yang terbuka dan tajam untuk belajar beragam hal bagi hidupnya. Tetapi juga, belajar tentang Kristus yang telah mempersembahkan tubuh dan darah-Nya untuk menebus dosa dunia. Kristus, Anak Domba Allah, Domba Paskah, yang menghapus dosa dunia ini. Pengalaman iman dan pengalaman belajar, kini lidahnya dibentuk dan terbentuk, lidah murid yang bersaksi dan menyuarakan kabar baik, kabar keselamatan. Lidah menghibur yang berdukacita. Kekuatan bagi yang letih lesu. Cahaya terang bagi yang dalam kegelapan. Pengharapan bagi yang putus asa. Topangan bagi yang goyah. Tuntunan bagi yang bimbang. “Bibir yang menggembalakan banyak orang, menyembuhkan. Lembut bagai pohon kehidupan, menabur pengetahuan, berakal budi dan memuliakan-Nya.” Lidah murid, lidah diberkati, dan menjadi berkat. Melaluinya, uamat-Nya, GKE kepunyaan-Nya, berakar, bertumbuh dan berbuah.

SELAMAT 183 TAHUN GKE, I LOVE GKE
Semakin memiliki telinga dan lidah murid.

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.