HeadlineKanan-SliderSlider

MURID BERDAMPAK (Menyambut Hari Pendidikan Teologi GKE 2022)

Oleh Tulus To’u

I. Berpendidikan, perilaku kurang terpuji

  1. Menyalah-gunakan posisi. Orang berlomba belajar dan sekolah setinggi-tingginya. Belajar dan pendidikan sebuah proses mengubah hidup manusia. Berubah kognitifnya, afektif dan psikomotoriknya. Status ekonomi dan sosial ikut berubah. Terhormat, dihormati, juga berharga dan berguna bagi banyak insan dunia. Tetapi, kita malu, sedih, tidak habis pikir, bila seorang professor atau doctor di perguruan tinggi. Dijebloskan ke tahanan, karena menyalah-gunakan jabatannya. Juga, ada jenderal berbintang, dijebloskan ke tahanan, karena menganiyaya dan membunuh. Sekolah tinggi, jabatan tinggi, pangkat tinggi, tidak menjadi jaminan, hidup berperilaku baik, benar, dan terhormat. Daftar kasus, orang-orang berpendidikan tinggi, dan jabatan/ pangkat tinggi, yang dijebloskan ke penjara, masih dapat Anda tambah lagi, menjadi lebih panjang. Kita sedih dan malu, olehnya.
  2. Jerat: A-6. Hati dan pikiran manuusia, rentan dipengaruhi, terpikat dan terbuai oleh godaan bujuk rayu dari yang dilihat oleh mata, dan didengar oleh telinganya. Hidup, sikap, perkataan, perbuatan dan perilaku, merupakan hasil proses olah pikir hati dan otak yang menerima impuls-impuls dari yang masuk dilihat mata dan didengar oleh telinga. Hati, otak , pikiran, nilai-nilai dalam diri, berinteraksi, yang dominan akan muncul keluar. Karena, “Yang diucapkan mulut, meluap dari hatinya.” Faktor-faktor menjerat, yang dapat menggelincirkan orang, dari tempat terhormat, terperosok ke jurang kehinaan, a.l.: A-6:
    1. Harta. Ya, ia dibutuhkan orang. Semuanya mau harta. Kebutuhan dasar terpenuhi. Muncul kebutuhan sekunder. Ingin memiliki lebih dari yang sudah ada. Pikatan, pesona, dan daya tarik harta, bisa sangat kuat, sehingga, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Ia dapat menjadi tuan, yang mengendalikan pemiliknya. Tuan yang bengis dan lalim.
    2. Takhta. Jadi pemimpin, satu kehormatan, kepercayaan dan kebanggaan. Takhta didambakan dan dicari banyak orang. Ada hak-hak istimewa dan kenikmatan di sana. Untuk itu, ada yang mendapatkannya secara terhormat, ada dengan cara tidak halal. Kata bijak, “Bila ingin menguji karakter seseorang, berikan kepadanya jabatan.” Terbukti, sayang, takhta bukan untuk rakyat, dan tempat mengabdi. Ada yang menyalah-gunakannya. Kepentingan pribadi, memperkaya diri.
    3. Kuasa. Ya, iya bagian dari takhta. Dalam takhta, ada kuasa. Dalam kuasa ada kekuatan. Kuasa membuat kebijakan, keputusan, dan tindakan. Juga, sayang, kuasa, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan layanan dan pengabdian. Tetapi, digunakan demi kepentingan pribadi dan memperkaya diri. Ditambahkan, bahwa kuasa, ada juga pada yang berharta, ber-uang, berteknologi dan berakses. Sehingga, “Ada uang ada kuasa.” Uang dapat mengatur dan membeli banyak hal. “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely, Great men are almost always bad men,” John Edward Acton. Kuasa yang absolut, cenderung korupsi. Orang besar, hampir selalu tidak baik. Pendapat yang tajam sekali.
    4. Wanita. Wanita, makhluk ciptaan Tuhan, yang didambakan dan dicari pria untuk dicintainya. Kelembutan, kecantikan, dan simpul-simpul seksnya, dapat menjadi kuasa dan kekuatannya untuk menggoda dan merayu kaum pria. Ia juga, maaf, dapat menjadi ibarat barang, yang dapat diperjual-belikan, sebagai pemberi nikmat sesaat. Semestinya, wanita sosok anggun, inspiratif, penuh pesona bagi gairah konstruktif seorang pria. “Ia, kuat, perkasa, penolong yang sepadan” Bukan pembantu, dan pelayan.
    5. Pria. Ia, ciptaan yang sama dan setara dengan perempuan. Tetapi, masyarakat yang umumnya patriakhal, menempatkannya sebagai pemimpin. Sehingga, ia dapat mendominasi relasi laki-laki perempuan. Perempuan, alat dan manfaat, bukan mitranya. Sehingga, perempuan bagi laki-laki, dan untuk laki-laki. Jadilah ia, penakluk perempuan, untuk berbagai hasratnya. Pria, dengan berbagai kelebihannya, digunakannya perempuan, untuk kepentingan dan hasratnya. “Orang berkuasa, hampir selalu tidak baik,” J.Edward Acton.
    6. Cinta. Cinta, naluri alamiah anugerah Tuhan. Cinta pria-wanita, anugerah-Nya. Hidup mereka menjadi indah, penuh warna-warni, riang gembira bahagia. Cinta mengikat mereka begitu kuat. Namun, ada kala, cinta seseorang, buta, “cinta itu buta,” menutup akal, logika dan rasional. Kuatnya cinta demikian, kerap membuat langkah dan sikap lakunya, membawanya terperosok ke jurang kehinaan. Merusak hidup, keluarga, karier dan masa depan. Bahkan, cinta uang, akar segala kejahatan. Namun, kasih Kristus, yang percaya, beroleh hidup kekal, tidak binasa.

II. Belajar, berilmu, dan beriman

Jacques Delors, merumuskan pemahaman, arti, manfaat dan tujuan belajar, dengan 4 pilar belajarnya:

  1. Learning to Know, belajar mengetahui. Ia, proses belajar, menjadikan dirinya memahami, mengenal, mengerti mengetahui hal-hal, subyek-subyek, tabir-tabir tertutup, didalami dan dipejarinya. Secara intelektual, berkembang kemampuan dan keterampilan mengenal, mengerti, mengetahui dan memahami. Pengetahuan dan cakrawala berpikir semakin luas.
  2. Learning to be, belajar untuk berilmu. Proses belajar membuatnya berilmu, berpengetahuan, berketerampilan, berkemampuan. Potensi diri, bakat dan talenta berkembang. Imaginasi, kreativitas, dan kebebasan berpikir bertumbuh. Belajar sebagai proses membentuk dan mendewasakannya dalam bidang-bidang kajiannya.
  3. Learning to live together, belajar hidup bersama. Dunia kini, mengagungkan kompetisi dan indiviualisme. Proses belajar sebagai kesempatan belajar hidup bersama, berdampingan, kerjasama, relasi dan komunikasi. Dalam kerjasama, tabir-tabir baru ilmu pengetahuan dibuka dan ditemukan. Hidup bersama, berkenaan manusia sebagai makhluk sosial. Sejak dini, kebersamaan dan berdampingan diperlukan. Sehingga orang memahami lingkungan dan dunianya.
  4. Learning to do, belajar mempraktik ilmu. Ilmu pengetahuan dan keterampilan, yang sudah dimiliki, saatnya diimplementasi. Ilmu dan keterampilan, berdayaguna mengatasi persoalan dunia, masyarakat, konfliks. Pendidikan ibarat kompas dan navigasi berlayar, dalam laut berbadai dan gelombang.
  5. Learning to believe God, belajar agar beriman. Ini tambahan dari saya. “Ilmu tanpa iman, buta,” kata Bijak, “Berikan jabatan, untuk menguji karakternya.” Terbukti banyak terjadi. Ilmu yang tinggi, jabatan tinggi, kerap disalah-gunakan, demi kepentingan diri, dan memperkaya diri. Untuk mengawal ilmu bermanfaat bagi sesamanya, perlu ditambah “learning to believe God.” Iman dan percaya Tuhan, memotivasi kasih, kebaikan, kebenaran, menolong dan berkorban bagi sesmanya. Tanpa iman, ilmu buta, terhadap perilaku itu. Iman, menggerakkan orang mendayagunakan ilmu, bagi layanan, pengabdian dan kebaikan sesamanya.

III. Murid Kristus

  1. Menjadi murid
    Kristus, guru agung, orang percaya murid-Nya. Murid, berguru pada guru agungnya. Ajaran-Nya, agung, luhur, mulia. Hidup benar, jalan lurus, sampai ke sorga. Murid, mengikuti teladan-Nya. Untuk dapat menjadi murid-Nya:
    1. Kristus di hati. Iman, percaya, yakin akan Tuhan Yesus, bagus kalau sudah diucapkan. Diucapkan, ucapan mengalir dari hati. Meski dapat terjadi, ucapan sekedar dari bibir, tanpa hati. Murid sejati, Kristus ada di hatinya. “Aku hidup, karena Kristus hidup dalam aku.”
    2. Kasih lebih besar. Orang tua, keluarga, saudara-saudara, rumah tangga menjadi “istanaku,” dan “hartaku.” Sangat penting dan berharga. Murid sejati, menempatkan Kristus di atas segala-galanya. Kristus no 1, prioritas utama, kasih yang lebih besar kepada-Nya. Sebab, ”Ia sudah memberikan yang terbaik, jiwa raga-Nya, bagi kita. Maka, kasih terbaik juga diminta-Nya dari kita.”
  2. Tanggung jawab murid
    1. Jadi terang. Orang percaya, murid Kristus, milik kepunyaan-Nya, bukan dari dunia, tapi berada di dunia. Dunia yang sudah tercemar. Kuasa gelap menguasai berbagai aspek dalam hidup manusia. Murid-murid, orang-orang percaya, diutus menolong sesamanya. Yang tersesat dalam gelap dosa, relung-relung hati pikiran yang gelap, jalan-jalan yang kelam. Terang Kristus dihadirkan ke sana. Sehingga, hati, pikiran, dan jalan, benderang baginya.
    2. Jadi garam. Kuasa jahat mengakibatkan hidup orang tidak subur dan tidak berbuah kebaikan. Ladang dan kebun kehidupan, gersang dan kering. Nilai hidup yang luhur mulia, layu, kering dan mati. Ke sana orang percaya diutus menjadi garam. “Larut dan menyatu, menggarami, serta mengubahkan,” kata Eka Darmaputera. Hati tempat subur benih kebaikan. Hidup berbuah baik dan lebat, Nilai-nilai luhur tidak mudah mati. Relasi interaksi, nikmat penuh tawa riang bahagia.
    3. Pikul salib. Pundak membawa tanggung jawab, kasih, kebenaran, kebaikan, dan nama Kristus. Berat, penuh tantangan, tidak disukai, malah dimusuhi. Yang setia sampai akhir, menerima mahkota kehidupan. Jangan takut dan gentar, “Aku menyertai kamu sampai akhir,” kata-Nya.

IV. Murid berdampak

“Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu,” kata-Nya. Ini fungsi pendidikan teologi. Melahirkan pendidik, pengajar, instruktur, konselor, gembala, yang mendampingi, mengawal orang-orang percaya, agar tetap berada pada jalur dan jalan yang benar. Pendidikan iman, mirip dengan Jacques Delors, “Pendidikan semacam peta laut bagi dunia yang penuh gejolak, sekaligus menjadi kompas untuk menavigasinya.” Didik dan ajar mereka, agar, membentuk murid-murid yang berkarakter dan berdampak. Menjadi garam dan terang dunia, melalui hal-hal praktis hidupnya:

  1. Ta-ter, tangan terulur. Bila hidup sukses, berhasil, diberkati, diberi rejeki,cukup atau lebih. Karena kasih Kristus, tergerak berbagi dan memberi, tangan tertulur bagi sesama. Berbagi sukacita dan bahagia, sehingga membahagiakan. Tentu, bahagia oleh mampu membahagiakan.
  2. Hi-ber, hidup berbuah. Taman bunga, tidak berbunga. Kebun dan pohon, tidak berbuah. Apa gunanya? Hidup akan memberi arti dan manfaat, bagi sesama, bila hati baik, mengeluarkan buah-buah kehidupan yang baik. Buah-buah kehidupan yang didengar dan dilihat oleh sekitar. Memuncak dialami dan dirasakan sekitar. Maka, sekalian makhluk akan bersukacita dan memuji Tuhan.
  3. Ka-me, kaki memimpin. Manusia, ada, yang model pengembara, jalan tanpa arah. Pengikut, jalan ikut orang lain. Peraih prestasi, berjuang untuk diri sendiri. Terakhir, pemimpin, mempengaruhi orang lain, ikut dan meneladaninya (John C.Maxwell). Orang percaya, bukan ekor, mengekor. Tapi, pribadi berdampak, mempengaruhi, dilihat, didengar, diikuti, dan diteladani.
  4. Bob mbo, bibir orang benar menggembalakan banyak orang. Lirik lagu KJ 415: “Gembala baik, bersuling nan merdu, membimbing aku pada air tenang, dan membaringkan aku berteduh, di padang rumput hijau berkenan. Refrein: O, Gembalaku, itu Tuhanku, membuat aku tent’ram hening. Mengalir dalam sungai kasihku, kuasa damai cerlang, bening.” Wow… luar biasa lagu ini. Demikianlah, mestinya kalimat yang meluncur dari mulut, bibir, lidah orang percaya, menggembalakan banyak orang.
  5. Ja-tel, jadi teladan. “Perbuatan lebih nyaring dari perkataan. Teladan lebih kuat dari kata-kata, dalam mempengaruhi orang. Contoh dan teladan lebih mudah diikuti, dari pada nasihat. Khotbah paling nyaring, adalah hidup pengkhotbahnya.” Paulus, “Ikutlah aku, seperti aku mengikuti Kristus. Jangan seorangpun menganggap engkau rendah. Jadilah teladan !” Tanpa keteladanan, engkau dianggap rendah!

SELAMAT HARI PENDIDIKAN TEOLOGI GKE 2022

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.