Menyambut Hari Syukur dan P.I. GKE: INJIL (186 TAHUN DI TANAH DAYAK)
Oleh: Pbrt. Dr. Tulus To’u, M.Pd
1. Damai Dayak, 1894, Tumbang Anoi
Secuil cerita dari Desa Sanggu, kira-kira 14 km dari Buntok, Kalimantan Tengah. Cerita isteri saya, dari cerita orang tuanya. Desa Sanggu di tepi danau yang indah. Hutan di seberang danau, jauh masuk ke dalamnya, ada daerah yang disebut Janah Pamunuan (hutan tanahnya agak berpasir, kurang subur, tempat ini tempat pembunuhan). Dahulu, sudah sangat lama, ketika masih kepercayaan lama, Kaharingan, apabila ada orang dari daerah lain, datang masuk, ke daerah Sanggu ini, lalu berbicara satu dengan yang lain. Tetapi, tidak terjadi komunikasi, tidak saling mengerti memahami, karena perbedaan bahasa. Ketika hal seperti ini terjadi, maka orang asing ini dibawa ke Janah Pamunuan, lalu dibunuh di tempat ini. Mayat korban, yang kemudian telah kaku, lalu diberdirikan di pohon kumisi, pohon yang banyak di tempat itu. Diceritakan, para pembunuh biasanya bangga dengan Mandau mereka (pedang khas Dayak), selalu dihitung sudah berapa kali dipakai untuk membunuh orang, disebutnya lian. Misalnya, Mandau ini liannya 5, maka itu berarti, Mandau ini hebat, bangga sudah berhasil membunuh 5 orang, lian 5.
Cerita bunuh-membunuh, kayau-mengayau, adalah cerita yang seram, mencekam dan menakutkan. Cerita itu masih ada ketika saya masih SD. Orang tua, kerap melarang anak-anak selama di ladang, untuk pergi jauh dari pondok, masuk ke hutan. Takut ada bala (pengayau mengintai dan akan membunuh dan memotong leher anak-anak, lalu membawa kabur kepalanya). Kami anak-anak selalu takut dengan bala, yang akan memotong leher kami dan membawa kabur kepala yang sudah dipotong, bila kami jauh dari orang tua.
Gambaran tersebut, rupanya meresahkan Belanda, penjajah, ketika itu. Maka, Residen Belanda di Banjarmasin, menggagas Damai Dayak. Diadakanlah Pertemuan Kuala Kapuas, 14 Juni 1893 membahas, a.l.: Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai tuan rumah untuk menghentikan 3H (Hakayau= Saling mengayau, Habunuh= saling membunuh, dan Hatetek= Saling memotong kepala musuhnya). Damang Batu, yang sangat disegani dan dihormati, dari Betang Tumbang Anoi, siap menjadi tuan rumah.
Pertemuan Damai Dayak, berlangsung dari 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu, di Tumbang Anoi. Pertemuan Damai itu, memutuskan, a.l.:
(1). Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim di sebut 3H (Hakayau= saling mengayau, Habunuh= saling membunuh, dan Hatetek= saling memotong kepala) di Borneo.
(2). Menghentikan sistem Jipen Kapali (hamba atau budak belian) dan membebaskan para Jipen dari segala keterikatannya dari Tepui (majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lain yang bebas.
(3). Menggantikan wujud Jipen dari manusia dengan barang yang bisa di nilai.
(4). Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti: Bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku.
(5). Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu’. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
(6). Menata dan memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tatanan kehidupan yang di anggap baik (Renhart Jemi). Perjanjian Tumbang Anoi ini berhasil mengubah perilaku 3H di antara orang Dayak, sehingga 3H tidak lagi menjadi ancaman dan ketakutan.
2. Belenggu keterbelakangan
Dokter H.Britainstein, tahun 1880, menceritakan a.l. Orang Dayak (Maanyan di daerah Siong Telang) meletakan jenazah korban di dalam rumah selama tiga hari, sampai akhirnya mereka memindahkan peti mati ke dalam hutan. Ada dua kasus tentang peti mati, ada yang ditutup dengan penutup yang terbuat dari kayu, memiliki lubang kecil di tengah bagian bawah; untuk mengeluarkan cairan dari mayat yang membusuk. Saat jenazah masih disemayamkan dalam rumah, bau mayat dalam wadah penyimpanan cairan itu menusuk hidung, walau kadang sudah dicampur dengan minyak dan jeruk nipis. Yang kedua, jenazah diletakan di ladang atau di pinggiran kampung, butuh waktu lama menunggu "festival upacara kematian". Mereka menunggu sampai jenazah benar-benar kering atau menunggu sampai punya uang. Kadang butuh waktu 1 sampai 2 tahun, sebelum jenazah dikremasi (Ijambe), (Hadi Miter, peterjemah). Sungguh, pola budaya kematian yang abai dan kurang paham pola hidup yang lebih sehat.
Sekitar 1830, tersiarlah kabar berita di Jerman, tentang Orang Dayak di Borneo, keadaannya, dan kehidupan yang sangat terbelakang, dalam berbagai aspek hidup. Fridolin Ukur, dalam bukunya, “Tantang Jawab Suku Dayak,” orang dayak hidup dan berada dalam kungkungan kegelapan. Hidup tergerus oleh banyak cara hidup yang membuat mereka jauh tertinggal dalam peradaban. Kemajuan terhambat oleh ketiadaan pendidikan. Kesehatan terganggu oleh kurangnya pemahaman cara hidup yang lebih sehat. Hidup terkungkung dan tergerus kemiskinan, oleh karena melaksanakan tradisi, adat budaya yang memerlukan uang dalam jumlah besar. Kepercaayaan pada kekuatan roh-roh leluhur dan roh-roh gelap lainnya, yang membelenggu hidup dalam ketakutan.
Semua keadaan yang berat dan membelenggu tersebut, akan tetap dan terus berjalan, bila tidak ada yang datang untuk menolongnya. Mustahil mereka dapat melepaskan diri dari ikatan dan kungkungan itu, dengan kemampuan dan kekuatan sendiri. Keterbelakangan membuat hidup hanya mengikuti pola hidup yang sudah ada. Seperti tergambarkan tersebut di atas. Puji syukur apabila dari seberang yang jauh, ada yang mendengar suara rintihan dan jeritan serta keluh-kesah dari kegelapan Borneo.
3. J.H. Barnstein tiba di Borneo, 26 Juni 1835
Keadaan gambaran di atas, akhirnya masuk hati dan menggugah batin Pekabar Injil, J.H. Barnstein. Ia memutuskan berangkat 15 Juli 1834 dari Jerman, dan tiba, 26 Juni 1835, di Banjarmasin, Borneo. Ia datang dengan membawa Injil, Kabar Baik, kepada orang-orang Dayak. Inilah, awal Injil Kristus menerangi jiwa-jiwa haus dahaga orang Dayak. Sejak itu, mulailah layanan Pemberitaan Injil Kristus disemai di Tanah Dayak. Pusat-pusat pemberitaan Injil satu-persatu didirikan di beberapa tempat di tanah Dayak. Pusat kegiatan dan layanan pendidikan, kesehatan dan keterampilan, mulai dibuka. Setelah beberapa tahun layanan dilakukan, maka buah pertamanya, seorang Dayak, percaya dan terima Tuhan Yesus, sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Ia dibaptis pada 10 April 1839, di Bethabara, daerah Kapuas. Itulah momen bersejarah yang kemudian dipilih sebagai hari lahir GKE.
Syukur kepada Tuhan, benih Injil Kristus terus dibawa menyebar, disemai dan bertumbuh di berbagai tempat di tanah Dayak. Para Misionaris silih berganti datang ke Borneo, menyusul kedatangan J.H.Barnstein itu. Mereka, dari Banjarmasin, yang menjadi pusat kegiatan, masuk ke pedalaman mengikuti jalur aliran sungai Kahayan, jalur sungai Barito, jalur sungai Mentaya. Perjalanan, pelayanan dan pekerjaan yang sangat tidak mudah. Penuh resiko, tantangan, pergumulan berhadapan dengan pola hidup orang Dayak, yang mengikat dan membelenggunya. Menembus adat, budaya, tradisi, kebiasaan dan keterbelakangan seperti digambarkan di atas, sungguh layanan yang membutuhkan totalitas kerelaan, keikhlasan, kesediaan mengabdi dan berkorban. Bersyukurlah, para misionaris terus menyemai benih Injil Kristus. Secara perlahan, akhirnya, ada hati dan jiwa yang terbuka menyambut Injil Kristus. Injil Kristus menjadi kebutuhan, karena di dalamnya ada kuasa transformatif.
4. Kuasa Injil Kristus
Injil dibutuhkan oleh manusia, semua insan dunia, termasuk orang Dayak. Mengapa Injil diperlukan? Injil, Kabar Baik, di dalam dan melaluinya, ada kuasa Allah berkarya, yakni:
(1). Kekuatan Allah yang menyelamatkan. Manusia hidup dalam dunia yang sudah tercemar oleh kuasa dosa, kuasa kegelapan, dan kuasa roh-roh dunia. Kuasa dan kekuatan itu membelenggu dan mengikatnya, sehingga hidup terkungkung menggerus dan merusak hidupnya. Hidup menjadi statis dan status quo, dalam ketidakberdayaan untuk maju dan berkembang. Injil Kristus adalah kuasa dan kekuatan Allah untuk menyelamatkan manusia. Allah melalui InjilNya, berkuasa melepaskan rantai dan belenggu segala kuasa. Injil Kristus membebaskan dan memerdekakannya. Apabila Kristus memerdekakanmu, kamu sungguh-sungguh merdeka. Inilah kemerdekaan dan keselamatan sejati.
(2). Membaharui hati, pikiran, perkataan dan perbuatan. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah, yang baik dan sempurna. Oleh kuasa dosa kesegambaran itu telah tercemar dan rusak. Sehingga hatinya kotor, najis, tidak baik dan tidak benar. Pikirannya, sejak dari tempat tidurnya, memikirkan dan merancang hal-hal yang jahat. Sehingga, hasilnya, apa yang diucapkan mulut, apa yang diperbuatnya, meluap dari hatinya yang jahat. Hanya Injil Kristus berkuasa membaharuihati, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sebab, siapa yang ada dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru. Hati baru, pikiran baru, perkataan baru dan perbuatan baru, karena Kristus.
(3). Mengajar dan mendidik dalam kebenaran. Iblis pembunuh hati nurani sejak semula. Menggelapkan pikiran. Ia pendusta dan bapa segala dusta. Sehingga manusia yang dirasuknya, tidak ada yang benar, tidak ada yang baik, tidak ada yang mencari Allah. Ajarannya sesat dan menyesatkan. Hanya Injil Kristus yang berkuasa mengajar dan mendidik dalam kebenaran Allah, memperbaiki kelakuan, meluruskan yang bengkok, menyatakan kesalahan. menuntun ke dalam keselamatan.
(4). Hidup diperlengkapi untuk perbuatan yang baik. Ajaran dan didikan dalam kebenaran, adalah jalan untuk memperlengkapi orang percaya untuk hidup dalam tata cara yang baik, yang benar, yang bersih, yang bermoral, berkualitas dan luhur mulia. Dengan ini, karya dan kerjanya berguna, membawa perubahan, kemajuan dan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya.
Puja-puji, sujud-sembah, dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, ketika Injil-Nya yang demikian itu, disambut dan diterima oleh orang Dayak, perlahan-lahan, tahap demi tahap, dari dekade satu ke dekade berikutnya, perubahan, kemajuan, kesejahteraan, menjadi semakin nyata. Kini, Injil Kristus sudah 186 tahun di Tanah Dayak. Apa yang kita saksikan dengan hidup Orang Dayak? Oh… istimewa dan luar biasa, mempesona dan mengharukan. Memang masih ada sebagian yang belum sampai pada harapannya. Tetapi, transformasi hidup Orang Dayak sampai saat ini, adalah buah dari kuasa Injil Kristus, yang dibawa J.H. Barnstein, berawal 26 Juni 1835, di Banjarmasin. Terima kasih, Tuhan Yesus, telah mengubah hidup kami Orang Dayak, sehingga boleh menjadi seperti sekarang ini. Dalam pendidikan, tidak hanya SMA, D3, S1, bahkan sampai S2, S3 dan Profesor. Dalam layanan publik, tidak hanya tenaga fungsional, tetapi juga memimpin dalam struktur Pemerintahan dan Dewan. Dalam kesehatan, sudah memahami gaya hidup yang sehat. Dalam ekonomi, telah dikelola untuk memenuhi hidup yang lebih sejahtera. Keterbelakangan dan segala aspek yang membelenggu, seperti gambaran di atas, telah berlalu dan menjadi catatan sejarah. Injil Kristus menghadirkan pembaharuan. Sebab, siapa yang ada dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru. Yang lama sudah berlalu.
5. Makna kata
- Proses menulis ini, telah menemukan makna kreatif kata Injil:
- I = Implementasi perubahan dan kemajuan telah tiba waktunya
- N = Nama Yesus Kristus Tuhan, berkuasa membaharui kehidupan yang rusak oleh kuasa dosa dan kegelapan
- J = Jalan dan hidup baru, kini sudah dimulai dan terus berlanjut dalam hidup orang Dayak
- I = Injil Kristus inilah yang membuat transformasi dan perubahan hidup orang Dayak
- L = Langkah demi langkah, tahap demi tahap, Injil Kristus membawa perubahan, kemajuan, kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan, dalam hidup orang Dayak.
SELAMAT MERAYAKAN 186 TAHUN INJIL DI TANAH DAYAK