Perempuan Pertama di Kubur Kosong: Suara Marginal dalam Kabar Baik
Oleh: Pdt. Lia Afriliani, M.Th
Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu. … Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. … Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus. (Mat. 28:1-10; bdk. Mrk. 16:1-8; Luk. 24:1-12; Yoh. 20:1-10).
Demikian sepenggal kisah di pagi paskah menurut Injil Matius. Maria Magdalena dan perempuan-perempuan lain yang datang ke kubur memiliki peran yang sangat penting. Kedatangan mereka awalnya bukan dalam semangat kemenangan, tetapi dalam duka dan keraguan. Namun, dalam perjumpaan dengan Yesus yang bangkit, mereka diubah menjadi pewarta pertama Injil kebangkitan.
Dalam budaya Yahudi, kesaksian perempuan tidaklah dianggap sah secara hukum. Namun, secara ajaib Allah memilih saksi pertama dari kebangkitan bukanlah para rasul laki-laki (yang notabene memiliki status sosial di tengah masyarakat dan sebagai murid Yesus selalu mengikuti Yesus dalam pelayanan-Nya), melainkan para perempuan. Ini adalah suatu tindakan radikal yang mengguncang tatanan sosial dan keagamaan saat itu. Dalam perspektif kisah ini, paskah sesungguhnya menyematkan beragam makna yang begitu kaya dan mendalam. Inilah kisah tentang kemenangan Yesus atas kematian. Ini juga kisah tentang manusia yang diselamatkan dari kuasa dosa. Sekaligus ini juga kisah tentang pembalikan struktur dunia dimana mereka yang dianggap tidak layak justru menjadi pembawa utama kabar baik. Sungguh, dalam peristiwa paskah, rangkulan Allah atas umat manusia sungguh teramat sempurna dan paripurna!
Kabar ini menjadi relevan dalam konteks masa kini, khususnya ketika kita berbicara tentang mereka yang termarjinalkan dan rentan. Perempuan, lansia, anak-anak, penyandang disabilitas, komunitas adat, dan kelompok-kelompok yang sering kali disisihkan dari ruang pengambilan keputusan dan pemberitaan Injil. Kenapa mereka tersisihkan? Jawabannya karena mereka lemah dan rentan, sementara kita mungkin masih terjebak dalam logika dunia yang menganggap lebih “layak” suara-suara dari pusat kekuasaan, pendidikan tinggi, ataupun status sosial tertentu.
Suara para marginal harus didengarkan. Tentu bukan sekadar memberi panggung sesekali, melainkan mendengarkan suara mereka dengan hati yang tulus dan terbuka, membangun relasi yang setara, dan bersedia diubah oleh kesaksian mereka. Dalam konteks Indonesia, banyak suara dari kelompok termarjinalkan yang sebenarnya sedang bersaksi juga tentang kebangkitan, misalnya komunitas lokal yang berupaya merawat lingkungan hidup, komunitas adat yang memperjuangkan hak-haknya atas tanah leluhurnya, perempuan yang berjuang sebagai garda dalam perdamaian dan kesetaraan gender, kelompok difabel yang menunjukkan iman yang teguh dalam keterbatasan, serta lansia yang tetap setia beribadah di tengah kesepiannya. Inilah bentuk nyata dari suara marjinal dalam menyatakan Kabar Baik, sekaligus suatu kesaksian yang hidup tentang bagaimana mengupayakan shalom di tengah baik-buruknya keadaan.
Dalam kisah Paskah, Allah mempercayakan Injil pertama kepada mereka yang dianggap “tidak sah” atau “tidak sesuai dengan standar dunia”. Hari ini, dalam wujud syukur kita atas kebangkitan Kristus, tidaklah terlambat bagi gereja dan juga bagi kita secara pribadi untuk segera bertobat supaya bisa memberi ruang bagi mereka yang suaranya dibungkam selama ini! Sungguh, paskah adalah kisah kasih Allah atas umat manusia secara sempurna dan paripurna!