ArtikelBerita InternasionalHeadline

Mengatasi Stigma dan Diskriminasi terhadap Kesehatan Mental

Oleh: Retni Mulyani

Kemarilah …. Singgah dulu sebentar….Perjalananmu jauh ….Tak ada tempat berteduh
Menangislah …Kan kau juga manusia …. Mana ada yang bisa .... Berlarut-larut
Berpura-pura sempurna
Sampaikan pada jiwa yang bersedih ……Begitu dingin dunia yang kau huni
Jika tak ada tempatmu kembali …. Bawa lukamu biar aku obati
Tidakkah letih kakimu berlari …. Ada hal yang tak mereka mengerti
Beri waktu tuk bersandar sebentar … Selama ini kau hebat
Hanya kau tak didengar
(Jiwa yang Bersedih - Ghea Indrawari)

Syair lagu di atas yang dilantunkan  Ghea Indrawari menjadi salah satu lagu yang berkaitan dengan kesehatan mental. Saya pikir lagu ini tidaklah lebay, walaupun ada mengatakan ‘ah lebay”. Saya sendiri tersentuh ketika mendengar lagu ini dan disadarkan juga bahwa ada saatnya sebagai seorang manusia mengakui keletihannya dan menangis sebentar untuk memberi ruang bagi diri mengolah rasa dan pikiran. Bahwa tidak selalu perjalanan hidup itu berjalan mulus tetapi akan ada saja aral dan rintangan yang harus dihadapi dan dijalani. Bahkan berada dalam kehidupan di titik terendah. Persoalannya, jika seseorang mencoba mengakui keletihan dan menangis dianggap sebagai manusia yang cengeng dan tidak kuat. Bahkan ada anggapan, jika seseorang menangis dianggap sebagai sikap yang terlalu perasa dan tidak logis. Pertanyaannya, apakah menangis sesuatu yang harus dirasionalkan dengan ungkapan kata-kata? Bukankah dengan menangis seseorang itu mengungkapkan olah rasa dan pikirnya secara  non verbal. Disayangkan memang, jika stigma terhadap orang yang mengakui kelemahannya secara mental mengalami diskriminasi baik dalam lingkungan keluarga, tempat kerja, dan masyarakat. Padahal sudah seharusnya lingkungan yang paling terdekat yaitu keluarga memberikan dukungan bagi anggota keluarga yang sedang “tidak baik-baik saja” justru menjadi tempat “yang asing”. Sama halnya di tempat bekerja yang seharusnya menjadi tempat tim work dan saling mendukung justru menjadi tempat “toxic”. Begitu pula dalam masyarakat, seharusnya menjadi lingkungan yang nyaman menjadi tempat “tidak aman dan gosip”.

Federasi Kesehatan Mental Dunia menetapkan jika setiap tanggal 10 Oktober  sebagai Hari Kesehatan Mental. Tahun 2024 ditetapkan tema tentang KESEHATAN MENTAL DI TEMPAT KERJA. Tema ini menyoroti pentingnya menangani kesehatan mental dan kesejahteraan di tempat kerja. Tema ini bukan hanya menyoroti untuk kepentingan individu tetapi juga bagi organisasi yang menjadi tempat bekerja, dan juga bagi masyarakat. Namun, seyogyanya perhatian pada isu kesehatan mental bukan hanya diperhatikan setiap tanggal 10 Oktober saja, tetapi menjadi suatu perhatian yang harus terus dilakukan, baik oleh pribadi, masyarakat, maupun organisasi tempat bekerja dalam setiap harinya. Seperti syair lagu di atas, tak ada salahnya jika seseorang menangis dan bersedih sebentar karena dia pun bukan manusia yang sempurna, karena kesempurnaan itu hanyalah milik Tuhan.  Berilah ruang untuk diri dalam mengolah rasa dan pikiran untuk menemukan kewarasan yang memanusiakan. Kewarasan yang memanusiakan ingin menjelaskan bahwa seseorang perlu untuk menghargai dan menghormati eksistensi dirinya. Tetapi karena berada dalam relasi dan situasi yang menekankan menempatkan seseorang bukan menjadi dirinya sendiri tetapi melebur menjadi seperti yang diinginkan orang lain.

Menurut Martin Buber, eksistensi manusia bersifat  relasional yang dikenal dengan relasi I and Thou. Relasi yang menghargai dan menghormati seseorang sebagai yang unik dan bermartabat bukan menjadi objek untuk mencapai tujuan. Relasi I and Thou menempatkan seseorang mengalami keterbukaan,  penerimaan diri, dan berharga di hadapan yang Ilahi. Relasi I and Thou menggambarkan relasi dibangun menghadirkan relasi yang konstruktif bagi diri sendiri dan orang lain. Relasi yang menempatkan seseorang tanpa harus kehilangan eksistensi dirinya, sementara pada saat yang bersamaan tetap dapat menemukan dan mengembangkan potensi diri. Relasi seperti ini memberikan ruang bagi seseorang untuk mengolah rasa dan pikirannya, sehingga ketika berada dalam pengakuan diri yang lelah dapat membuatnya jujur dengan diri sendiri. Pengakuan akan keterbatasan bukan berarti seseorang itu malas atau pun tidak bisa berbuat apa-apa tetapi pengakuan itu menolong dirinya untuk terus belajar dalam mengembangkan diri.

Menutup pembahasan ini, penting diingat bahwa mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap kesehatan mental adalah tanggung jawab bersama, baik individu, keluarga, tempat kerja, maupun masyarakat luas. Sebagai suatu tanggung jawab berarti bahwa bukan hanya pada momen tertentu saja memberi perhatian pada kesehatan mental, melainkan setiap hari mengupayakan agar kesehatan mental tersebut dapat tercipta. Menerima kelemahan dan kelelahan sebagai bagian dari kondisi manusia bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah pengakuan jujur akan keterbatasan yang dimiliki setiap orang. Relasi yang menghormati dan menghargai eksistensi individu, seperti yang dijelaskan oleh Martin Buber dalam konsep I and Thou, mendorong terciptanya lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan mental. Oleh karena itu, mari kita ciptakan ruang yang aman dan penuh empati di mana setiap orang merasa didengar, dihargai, dan dimanusiakan, sehingga dapat berproses menjadi pribadi yang lebih kuat dan sehat secara mental. Hanya dengan menciptakan lingkungan yang saling mendukung, kita dapat mengubah stigma menjadi penerimaan dan diskriminasi menjadi solidaritas.

Referensi

https://www.mentalhealth.org.uk/our-work/public-engagement/world-mental-health-day

Martin Buber’s Concept of Dialogical Existence

Bagikan tulisan ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published.